Pesawat Hercules C-130 TNI AU jatuh dengan posisi terbalik menimpa bangunan di Jalan Jamin Ginting Padang Bulan, Medan Sumatra Utara Kemarin, setelah terbang selama dua menit, hampir tengah hari tatkala matahari berada tepat di kepala. Kejadian ini menewaskan seluruh penumpang yang berjumlah lebih dari 100, terdiri dari anggota TNI, Angkatan Udara dan Angkatan Darat, serta keluarga yang mendampingi. Penerbangan mereka ini adalah dalam proses hijrah ke tempat baru, menjalankan tugas menjaga kedaulatan negara. Dalam beberapa saat, kejadian yang mengagetkan masyarakat sekitar berubah menjadi tragedi nasional. Semua mata tertuju ke sana, hati tertegun. Bulan Ramadhan kali ini harus dilalui dengan rasa sedih oleh bangsa ini. Dalam kesempatan ini, rasa duka yang sangat mendalam saya sampaikan kepada para keluarga korban, semoga para korban mendapat tempat terbaik di sisiNya. Amin.
Saat saya terus mencari berita tentang kejadian itu kemarin, telepon seluler saya berdering. Dilihat dari nomornya, saya tahu ini dari kompasiana. Saya diajak hangout dengan tema Jatuhnya Pesawat Hercules di Medan. Sayapun menyanggupi. Sejurus kemudian, seperti biasa, saya tidak menggunakan laptop di rumah karena hawatir internetnya lemot, tetapi menggunakan laptop teman-teman kompas, sayapun langsung meluncur ke kantor kompasiana, Lt 6. Sesampainya di sana saya sempatkan sholat magrib kemudian makan malam berbuka puasa di warung soto depan kantor. Alhamdulillah lapar dan dahagapun hilang.
Jam delapan malam teng, siaran langsung kompasiana dimulai. Hangout semalam menghadirkan nara sumber dunia penerbangan Bapak Dudi dan seorang peneliti LIPI. Saya pribadi ingin sekali bertemu Pak Dudi, beliau adalah Bapak dari sahabat saya kala SMA, Adit, yang sekarang entah di mana. Pak Dudi merupakan wartawan senior Kompas. Jadi saya senang bisa satu layar kaca dengan beliau, walau tidak di satu tempat. Pak Dudi masih terlihat segar walaupun sudah menginjak usia senja. “Semoga sehat selalu Pak! Salam buat Adit!”
Kompasiana hangout dengan tema Jatuhnya Pesawat Hercules banyak berbicara tentang kondisi pesawat, seperti umurnya yang sudah tua, lima puluh tahun! bayangkan! kemudian perawatannya, dan juga berat beban saat jatuh. Perihal perawatan pesawat, fokus pada suku cadang yang digunakan untuk peremajaan, apakah sesuai atau tidak, orisinil atau tidak, dan teknis pelaksanaan perawatan, apakah sesuai teknis resmi dari pabrik atau tidak. Perihal beban pesawat, menjurus ke jumlah penumpang yang melebihi kapasitas dan beban barang yang dibawa, mengingat mereka sedang berpindah tugas, pasti banyak membawa barang. Pembicaraan kemudian berbelok ke masalah anggaran alutista dan memunculkan ide untuk audit terhadap penggunaan anggaran tersebut. Saya sendiri mempertanyaan apakah SOP pemeriksaan kala pesawat militer di bandara sama dengan SOP pesawat-pesawat komersil dan menegaskan bahwa jika peremajaan dilakukan selama 50 tahun itu berarti negara tidak punya uang. Ini masalah!
Pada akhirnya, setelah hangout selesai, dalam perjalanan menuju rumah, saya terus merenung atas peristiwa ini. Berbagai pertanyaan muncul di benak saya, akan tetapi semua bermuara pada satu jawaban. Satu yang harus diingat adalah Hercules yang ini bukan dewa. Mungkin yang kita kenal selama ini dalam dunia hayal, nama Hercules itu immortal, tidak kenal mati, dan hidup abadi selamanya. Untuk Hercules yang sudah 50 tahun ini saya pikir tidak berlaku. Oleh karena itu, kita harus berhenti menganggap bahwa Hercules ini tidak kenal mati, berhenti memperlakukan Hercules ini sebagai sesuatu yang tidak akan rusak dan berhenti memperlakukan alat-alat perang lainnya sebagai alat yang tidak akan kadaluarsa! Jika kita tidak berhenti menganggap dewa, saya hawatir peristiwa ini akan terjadi lagi di masa depan. Naudzubillah!
Seyogyanya, sebagai pendukung personel TNI dalam menjaga kedaulatan negara dan berjuang di perbatasan, alutista yang digunakan haruslah yang modern. Jika anggaran terbatas, maka kita harus utamakan alat yang penting dan vital. Kita buat prioritas, seperti pesawat terbang pengangkut personel diutamakan. Ini tidak bisa main-main. Kalau tank mogok bisa berhenti di jalan, tetapi kalau pesawat mogok, resikonya jatuh dan hancur berantakan. Ironis jika personel TNI yang dikenal tangguh dunia, seperti yang mereka lakukan di kejuaraan dunia menembak kemarin di Australia menjadi juara umum berturut-turut atau dengan gagah beraninya ketika mereka mencari AirAsia yang jatuh di laut dan membuat tercengang tentara Amerika, dipersenjatai atau didukung oleh alat yang jauh dari kata tangguh. Para personelpun pada akhirnya akan menjadi korban.
Peristiwa ini jadikanlah yang terakhir yang terjadi dalam dunia militer kita. Kesedihan dan duka yang mendalam cukuplah sampai peristiwa ini saja. Jika tidak, kehilangan bukan saja dialami keluarga tetapi juga negara, dan itu mahal harganya, tidak bisa tergantikan oleh apapun.
Selamat jalan saudara-saudaraku, para pejuang yang khusnul khotimah, semoga tenang di sana…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H