[caption id="attachment_361035" align="aligncenter" width="448" caption="kedatangan, foto pribadi"][/caption]
Ketika Ujian Nasional datang, pada umumnya sekolah meliburkan siswa yang tidak mengikuti ujian, seperti siswa kelas XI dan X MAN Insan Cendekia Serpong. Hal itu dilakukan agar pihak sekolah fokus menyelenggarakan UN untuk siswa kelas XII, apalagi tahun ini, di tempat kami diselenggarakan UN CBT (Computer Based Test), harus sukses dan berhasil. Nah, siswa kelas XI diagendakan mengikuti kegiatan studi di luar kelas untuk mengisi liburan mereka. Yang selama ini, kebanyakan siswa mengenal kegiatan luar kelas dengan melakukan studi tur mengunjungi pabrik atau museum, atau juga tempat rekreasi wisata, seperti kebun binatang atau taman bunga. Kali ini, kami mengajak siswa untuk pergi dan tinggal di desa, tepatnya Desa Cimenyan di Bandung, Jawa Barat.
Pertanyaannya, kenapa ke desa? Apa yang mau dicari di desa? Bukan objek wisata, bukan pula pabrik. Nah di sini letak poin yang ingin kami tegaskan, bahwa belajar di luar tidak hanya melulu belajar proses produksi atau mekanisme pabrik yang berhubungan dengan ekonomi, kimia, atau fisika yang dipelajari di sekolah, tetapi yang menurut kami penting juga adalah belajar bermasyarakat. Apalagi untuk sekolah berasrama seperti sekolah kami di mana sehari-harinya siswa tidak bersentuhan dengan masyarakat, mengenal suatu masyarakat dengan ciri khasnya termasuk kebiasaan hidup dan masalah yang dihadapi adalah hal penting yang harus diketahui dan dipahami siswa.
Kemudian desa pada kenyataannya adalah tempat di mana banyak rakyat Indonesia menetap sedari kecil sampai dewasa, atau juga merupakan kampung halaman bagi sebagian orang, namun terlupakan tatkala kehidupan di tempat lain lebih berkilau, terabaikan ketika banyak kota menjadi besar. Menurut tetua desa yang menyambut kami, masih banyak desa membutuhkan bantuan dan perhatian. Oleh karena itu kami bersama siswa berangkat ke Desa Cimenyan untuk belajar bermasyarakat dan mengasah kepekaan serta kepedulian dengan sedikit memberikan sumbangsih berupa baksos sembako, pengobatan gratis, dan buku-buku bacaan.
Kegiatan menginap di desa ini kami sebut Homestay, walaupun menggunakan istilah bahasa Inggris dan tidak dilakukan di luar negeri, namun punya makna yang kira-kira sama, yaitu tinggal di rumah penduduk yang tidak dikenal sebelumnya dan mengikuti berbagai kegiatan yang dilakukan bersama dengan mereka, seperti makan, membantu bekerja, berjualan, dan lain sebagainya. Untuk kegiatan ini kami menggunakan EO (Event Organizer). Siswa dikelompokKan dalam kegiatan yang dilakukan selama 3 hari 2 malam, tanggal 13-15 April 2015 tepat ketika kakak kelas mereka siswa kelas XII mengikuti Ujian Nasional SMA. Beberapa hal yang kami siapkan sebelum berangkat di antaranya adalah menyiapkan surat jalan dari polisi dan juga asuransi kecelakaan, dua hal yang pokok yang harus dipenuhi dalam setiap kegiatan luar sekolah kami.
Kami berangkat pada hari Senin 13 April 2015, pukul 6 pagi, menuju Bandung menggunakan 3 unit bis dan 2 unit mobil pribadi. Dengan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan terdiri atas: siswa kelas XI sebagai peserta, guru sebagai pendamping kegiatan, tim medis, dan EO sebagai penyelenggara, dengan total hampir 150 orang. Setibanya di Kota Bandung setelah perjalanan selama 3 jam, kami berganti kendaraan, menggunakan angkot carteran. Angkot berjumlah 12 menuju Desa Cimenyan.
[caption id="attachment_361036" align="aligncenter" width="431" caption="bertemu dengan induk semang dan menuju rumah, foto pribadi"]
[/caption]
Perjalanan menuju Cimenyan cukup berliku dan menanjak, namun merupakan hal biasa bagi para supir angkot. Mereka mengendarai angkot dengan meliak-liuk agar supaya tanjakan dapat teratasi dengan baik. Walau begitu, ada satu angkot yang tidak cukup kuat menanjak sehingga harus berbagi beban dengan mobil panitia. Setelah 45 menit perjalanan, kami sampai di desa tujuan. Letak Desa Cimenyan yang berada di atas dan di antara bukit-bukit menyebabkan sinyal telepon genggam sangat lemah sehingga kebanyakan hanya bisa menampilkan “emergency only” atau “no service”. Padahal masih di Pulau Jawa tapi sinyal ga ada.
Sesampai di sana kami disambut masyarakat di Masjid Khairina, dengan penampilan rebana anak-anak desa. Para tetua dan kepala RT RW hadir di sana. Setelah acara sambutan, setiap kelompok dipertemukan dengan keluarga tempat mereka tinggal, dan langsung berjalan bersama menuju rumah. Pada umumnya rumah itu tersebar di pinggir sepanjang jalan utama desa yang letaknya beragam ada yang berdekatan dan ada juga yang berjauhan, dengan jumlah rumah sebanyak 22 yang berarti 22 keluarga dilibatkan. Keluarga tersebut menjadi induk semang selama kegiatan dan siswa dianggap bagian dari penduduk Desa Cimenyan. Sesampai di rumah, mereka disuguhi makan dan berkenalan.
[caption id="attachment_361038" align="aligncenter" width="389" caption="kegiatan bersama keluarga, foto pribadi "]
[/caption]
Sore harinya siswa bersama dengan EO dan penduduk mengikuti acara tur desa. Kami berkeliling rumah penduduk, daerah perkebunan, dan ladang yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman. Di sekitar rumah penduduk banyak anjing berkeliaran. Menurut informasi anjing itu digunakan untuk menjaga rumah dan hasil tani serta untuk menemani berburu. Tanaman di ladang mereka cukup beragam. Ada bawang, jagung, kol, brokoli, tomat, dan kentang. Ada daerah ladang yang sudah modern dengan penyiram tanaman otomatis, tetapi ada juga yang masih tradisional.
Setelah berputar ke rumah penduduk dan melewati ladang kebun, EO mengajak siswa mengunjungi objek wisata yang ada di sana, yaitu Puncak Bintang, di mana ada bintang besar terbuat dari logam mengkilap warna silver dengan lampu-lampu kecil di sekitarnya ditaruh di puncak gunung. Di puncak bintang, jika udara cerah, kita dapat melihat momen matahari terbenam yang katanya sangat indah, dan Kota Bandung di sebelah kiri sedangkan di sebelah kanan Lembang. Namun karena saat itu cuaca mendung dan berkabut, kita tidak dapat melihat baik matahari terbenam maupun Kota Bandung, jadi hanya berjalan sampai di puncak bintang, menikmati indahnya alam, dan berfoto.
Perjalanan ke puncak bintang cukup melelahkan terlebih dikarenakan jalan yang terjal berbatu menanjak ke atas sepanjang kurang lebih 300 meter. Jalan ini, jika turun hujan akan menjadi sangat licin sehingga mobil atau motor disarankan tidak melewatinya, harus tunggu sampai hujan reda dan jalan mengering, khawatir slip dan roda tidak bisa mencengkeram permukaan saat rem diinjak, berbahaya. Sebelum sampai di puncak, kami diharuskan melewati loket untuk membayar tiket masuk sebesar delapan ribu rupiah per kepala. Saat itu cukup banyak pengunjung yang datang, selain untuk melihat matahari terbenam dan menikmati pemandangan alam, juga untuk berfoto. Setelah dirasa cukup, siswa kembali pulang ke rumah induk semangnya.
Pada malam hari, kami berbincang dengan ustad dan hansip di sana mengenai kondisi penduduk sekitar, tentang mata pencaharian, tentang kebiasaan, pendidikan, dan agama. Mereka bercerita bahwa mata pencaharian penduduk, kebanyakan menggarap ladang, berkebun, ada juga yang membuka warung kopi, bakso, dan benkel motor. Hobi para lelaki di desa itu umumnya berburu. Perburuan mereka bisa sampai ke luar kota, seperti Sukabumi dan Cirebon. Sedangkan masalah pendidikan, sampai sejauh ini tingkat SD menjadi pencapaian tertinggi. Masih ada yang berat untuk melanjutkan ke tingkat SMP walau ada beberapa yang lanjut. Kami sempat tanyakan kepada warga yang anaknya berhenti sekolah ketika kelas 1 SMP, namun warga itu enggan menjelaskan alasan kenapa.
Agama warga Desa Cimenyan adalah Islam. Ada 2 masjid di daerah itu, dan ketika waktu sholat datang terdengar lebih banyak masjid mengumandangkan adzan. Kegiatan keagamaan pun semakin semarak dengan adanya TPA yang diselenggarakan oleh salah satu warga setempat di rumahnya. Di sana anak-anak bukan hanya diajari membaca Qur’an namun juga diajari membaca tulis. Wargapun menyambut baik hal itu. Paling tidak kesadaran pentingnya bisa baca-tulis ada di antara mereka. Baik untuk baca Qur’an maupun baca buku biasa.
Setelah itu datang beberapa warga membawa hasil ladangnya, ada kembang kol, brokoli, tomat dan kentang dan bercerita tentang hasil ladang itu. Di tempat mereka, panen bisa dilakukan setahun tiga kali dan apabila cuaca saat panen tidak hujan, hasil panen akan dapat bertahan lama karena tidak bersentuhan dengan air. Kol yang dibawa saat itu sudah berumur 2 minggu namun masih bagus kondisinya, walaupun bagian luarnya layu namun bagian dalamnya masih bagus dengan ukuran yang besar pula. Kami pun berencana membeli hasil tanaman mereka tatkala pulang nanti untuk oleh-oleh di sekolah.
Siswa pada umumnya tidur di ruang tamu/keluarga beramai-ramai beralaskan karpet atau tikar di rumah induk semang. Walaupun udara sangat dingin di malam hari dan terasa dari kepala sampai ujung kaki, namun tidak menyurutkan semangat dan kesenangan mereka untuk berbaur dengan keluarga. Untuk masalah cuaca dingin ini, mereka mengatasi dengan berbaju tebal dan tidur berdempet satu dengan lainnya, ditambah dengan penutup kepala seperti kupluk, dan juga penutup kaki seperti kaos kaki agar seluruh badan hangat dan tidak menggigil ketika tidur. Pihak keluarga pun membantu mengatasi dingin dengan menyiapkan air panas, barangkali ada yang pingin seduh kopi, teh, atau bandrek.
Pagi hari, Selasa tanggal 14 April, setelah sarapan sampai menjelang tengah hari, siswa ikut induk semang bekerja. Ada yang menjaga warung bakso, mengangon kerbau, memetik hasil tani, membersihkan rumah, mengangkut rumput, membantu pengajaran di TK, membantu di bengkel motor, dan lain sebagainya. Semua bekerja dengan sepenuh hati. Saya sampaikan kepada para induk semang agar siswa diberi kesempatan bekerja atau melakukan apa saja yang biasa penduduk lakukan sehari-hari. Jadikanlah waktu homestay ini menjadi waktu para keluarga di desa sebagai raja dan kami pelayannya.
Saya beserta rekan menyempatkan berbincang dengan penduduk yang sedang merawat tanamannya, di tanah desa berupa ladang yang disewa untuk digarap. Saat itu, ada yang sedang menyiram, ada yang sedang mencampur pupuk, dan ada juga yang sedang merawat tanamannya, seperti seorang bapak sedang mengikatkan pohon tomat yang tumbuh memanjang ke atas dengan bambu agar tomat tersebut tidak tumbuh merambat ke bawah.
Kesempatan bertemu bapak yang sedang merawat tanaman di ladang ini tidak kami sia-siakan untuk bertanya banyak hal tentang bercocok tanam. Beliau menjelaskan bahwa kendala yang dihadapi dalam bercocok tanam ini adalah kekuatan tanaman, seperti pada tanaman tomat. Agar tomat dapat panen dengan baik perlu diberi obat sampai beberapa kali bahkan ada yang 20 kali sampai panennya bagus (waduh banyak bener pestisidanya ya, gawat!). Ada juga pupuk organik seperti kotoran ayam, namun bukan andalan. Dari menanam benih sampai panen itu sekitar 3 sampai 4 bulan. Jika musim kemarau, panen akan lebih cepat, lebih banyak, dan lebih bagus dibanding panen tatkala musim hujan. Kendala yang lain adalah harga obat dan pupuk yang tidak murah, sehingga harga jual menjadi mahal.
Di desa ini, ada pusat pembibitan untuk berbagai jenis tanaman. Lokasi pusat pembibitan itu adalah di atas bukit. Perjalanan ke sana cukup melelahkan bagi kita yang jarang mendaki bukit. Melalui jalan setengah tapak, berliku, melewati bukit dan jurang serta beberapa petak balong (empang), akhirnya kami sampai menuju ke lokasi pembibitan. Bibit di sini dikembangkan dengan menggunakan poli bag ukuran standar diameter 15 cm dan yang kecil diameter 3 cm. Proses pembibitan ini dilakukan dengan harapan dapat menghasilkan bibit unggul yang berkualitas tinggi.
[caption id="attachment_361039" align="aligncenter" width="375" caption="bakti sosial dan pengobatan gratis serta hiburan, foto pribadi"]
[/caption]
Sore hari sampai pukul 19.00, kami mengadakan baksos pemberian sembako dan pemeriksaan kesehatan gratis dengan mengundang Puskesmas Kecamatan Cimenyan. Warga berdatangan mulai pukul 3 sore, sebagian besar di antara mereka adalah orang tua dan anak-anak. Orang tua menjalani pemeriksaan kesehatan sedangkan anak-anaknya diberi pengajaran dan hiburan oleh siswa kami dalam kelompok-kelompok. Alhamdulillah kegiatan ini mendapat respon positif dari masyarakat setempat, warga berdatangan tiada henti sampai malam. Anak-anak pun senang mendapatkan pengajaran dan hiburan dari siswa.
Pagi hari tanggal 15 April 2015, kegiatan pagi hari adalah outbond kecil-kecilan yang bertujuan untuk memperkuat kerja tim antarsiswa. Siswa dikelompokan dan diikutkan dalam permainan-permainan yang menuntut kerja sama dan kekompakan tim. Kegiatan itu dilakukan di lapangan voley yang ada di sebelah Masjid Khairina. Setelah berkegiatan selama 2 jam dari pukul 7 sampai pukul 9 pagi, siswa kembali ke rumah untuk bersiap melakukan acara evaluasi diri dan penutupan. Alhamdulillah kedua acara tersebut dapat berlangsung dengan baik dan siswa kembali ke sekolah pada siang harinya.
Mengisi liburan terkadang membingungkan, apalagi jika program mengisi liburan dibebankan pada sekolah. Sekolah harus dapat menentukan kegiatan yang bagus bagi siswanya. Bagus berarti tidak membosankan, tidak asal berkegiatan, dan tentunya harus berkualitas sehingga target yang ingin dicapai dapat terpenuhi. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan homestay di desa. Bagi anak yang terbiasa hidup di kota menetap di desa bersama warga tentu menjadi hal yang unik dan menarik untuk dilakukan.
Apa yang didapat siswa dari kegiatan homestay di desa?
Pertama. Siswa mengenal masyarakat desa, termasuk mata pencaharian, pendidikan, agama, dan kebiasaan. Belajar tentang desa, ternyata bukan hanya untuk mengenal masyarakatnya, tetapi juga untuk mengetahui bagaimana masyarakat itu bertahan hidup dengan mata pencahariannya sehari-hari. Beragam usaha pun dilakukan mengingat hasil tani tidak bisa dinikmati tiap hari atau tiap minggu atau tiap bulan. Mereka harus terus bergerak dan berusaha agar tetap hidup. Banyak ilmu yang bisa didapat termasuk cara bercocok tanam dan beternak.
Kedua. Siswa mendapatkan ilmu bercocok tanam dan mengetahui kendala yang dihadapi para petani, seperti perlunya bibit yang unggul, yang dapat bertahan tanpa harus sering dikasih obat dan perlunya pupuk yang ramah lingkungan tetapi berkualitas tinggi. Masalah ini menjadi PR bagi penguasa dan generasi penerus bangsa untuk mendapatkan solusinya. Untuk kemajuan desa, orang yang berpengaruh di desa dan aparatnya, sebisa mungkin mengerti ilmu pertanian dan perkebunan, agar dapat memberikan arahan atau contoh kepada masyarakat. Jika diperlukan dapat mengundang tenaga ahli di bidangnya.
[caption id="attachment_361040" align="aligncenter" width="336" caption="objek wisata, puncak bintang, foto pribadi"]
[/caption]
Ketiga. Siswa menyadari potensi desa untuk menjadi tempat wisata. Sesuatu yang tidak disangka adalah bahwa ada objek wisata tak terduga, yang semakin menunjukan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya dengan tempat-tempat menarik dan indah untuk disinggahi. Dari sini paling tidak kita tahu bahwa negara ini potensinya besar, baik potensi masyarakatnya, kekayaan alamnya, maupun objek wisatanya, bukan saja kota tetapi juga desa-desanya. Jika ini terus dikembangkan, insya Allah masyarakatnya secara keseluruhan akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, termasuk pengembangan kekayaan wisata yang dapat menghadirkan devisa dari wisatawan luar negeri.
Akhirul kalam, mengisi liburan harus dapat membawa manfaat bagi siswa, salah satunya adalah dengan homestay di desa. Bukan hanya ilmu bermasyarakat atau bercocok tanam yang didapat namun juga objek wisata yang tidak kalah menariknya dengan objek wisata kota. Kesemuanya itu akan membawa banyak manfaat bagi perkembangan anak didik kita, insya Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H