Lihat ke Halaman Asli

ARAYRI

TERVERIFIKASI

Adzra Rania Alida Yasser Rizka

Anak Didik Sebagai Konsumen, Pantaskah?

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14114558712107119363

Pada akhir minggu kemarin kami mendapatkan sesi seminar dengan psikolog yang bekerja di tempat kami. Sang Psikolog, melontarkan pertanyaan kepada kami, para guru dengan pertanyaan “Bagi Bapak/Ibu, siswa dianggap sebagai apa?”. Pertanyaan itu cukup mudah untuk dijawab dan cukup bervariatif jawabannya. Banyak jawaban kami yang merupakan jawaban mulia atau jawaban idealis seorang guru seperti siswa sebagai selembar kertas putih, gelas kosong, teman diskusi, sumber belajar, atau sebagai anak sendiri, cukup beragam. Jawaban manakah yang benar?

Menurut Sang Psikolog, semua jawaban adalah benar karena sah-sah saja menganggap siswa sebagai teman, anak, atau gelas kosong yang harus diisi. Yang harus dipirkan adalah dibalik anggapan kita terhadap siswa, bahwa ada tanggung jawab yang menyertai, ada kewajiban yang harus kita lakukan.

Menganggap siswa sebagai anak sendiri adalah mudah tetapi sanggupkah kita melaksanakannya? Contoh apabila suatu saat siswa minta uang jajan kepada kita, boleh dong, namanya juga anak. Lantas bagaimana dengan anggapan siswa sebagai teman atau yang lainnya? Apakah kita dapat mempertanggungjawabkannya, apakah kita dapat melaksanakan kewajiban yang menyertainya?. Di sinilah kita harus berhati-hati. Lantas siswa harus kita anggap sebagai apa?

Psikolog kemudian mengarahkan kepada jawaban salah seorang dari kami yang menganggap bahwa siswa itu adalah pelanggan atau konsumen. Bayangkan jika kita masuk ke sebuah restoran, ada yang menyambut, ada yang menyapa, dan ada yang melayani. Nah sekolah mungkin bisa kita anggap sebagai restoran, yang akan melayani, dan memberi kepuasan, membuat kita kembali lagi di masa depan, rindu akan kelezatan masakannya, porsi banyak yang diberikan, dan pelayan yang ramah.

Memang sekilas siswa sebagai konsumenlah yang terbaik sebagai jawaban atas pertanyaan di atas, tetapi tidakkah kita sadari dengan memaknai siswa sebagai konsumen, maka turunlah integritas dan dedikasi seorang guru. Kenapa? Karena konsumen akan dekat dengan uang, ada barang ada uang. Apakah itu yang kita mau? Saya tidak memungkiri hal itu tetapi ada hal lain yang lebih penting dari itu. Seperti bagaimana dengan jasa para pahlawan pendidikan kita yang berjuang tanpa pamrih, seperti RA Kartini misalnya. Bagaimana melestarikan semangat mereka yang berjuang untuk rakyatnya?

Sekolah sebagai restoranpun akan membutuhkan uang pada akhirnya. Dimana-mana kalau makan, harus bayar. Semakin tinggi kualitas dan tingkat pelayanan sebuah restoran semakin mahal pula. Kalau itu yang berlaku maka benarlah apa yang dianggap orang selama ini, pendidikan itu mahal. Pendidikan yang bagus itu mahal. Kenyataan seperti itu yang menghancurkan bangsa ini. Kenapa? Karena pendidikan yang berkualitas hanya akan dirasakan oleh orang kaya saja, yang pada akhirnya orang kaya makin kaya, sedangkan orang miskin makin miskin.

Menurut hemat saya, apa yang dirasakan oleh guru akan tugas mulianya atau idealismenya, sehingga menganggap siswa sebagai anak, atau sahabat, atau kertas putih, atau gelas kosong yang harus diisi biarlah tetap seperti itu. Itu adalah cara untuk mengingatkan dirinya akan kehormatan dan dedikasi diri sebagai seorang guru. Jika siswa minta uang jajan, jika kita punya uang dan jika kita tahu bahwa siswa berasal dari orang tidak mampu, why not? Saya yakin siswapun tahu diri sehingga permintaannya akan cukup rasional. Bagi saya, jika gurunya tulus, siswanyapun akan lebih menghormati dan mengingat dirinya walau sudah lulus dari sekolah, seperti postcard yang baru saya terima dari salah satu siswa saya yang sedang belajar di Manchester, United Kingdom, di bawah ini.

[caption id="attachment_325204" align="aligncenter" width="448" caption="postcard siswa, foto pribadi"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline