Lihat ke Halaman Asli

Berebut Masjid

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Ahmadi Fathurrohman Dardiri*

Kemunculan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) dengan spiral kekerasan ideologisnya menghentak kesadaran bangsa Indonesia. Hampir 7 dekade lamanya bersusah payah menyemai nilai luhur Pancasila, kini sila “Persatuan Indonesia” dan nilai-nilai kebhinnekaan mendapat ancaman serius dari ideologi teror ala ISIS. Beberapa kelompok garis keras dalam negeri mengaku telah dibaiat menjadi anggota ISIS. Yang lebih meresahkan, bahaya rekruitmen ISIS tak pelak mengintai pemuda pemudi harapan bangsa. Selain mengancam ideologi negara, keberadaan ISIS juga mengancam keamanan nasional dan ketenteraman masyarakat. Ancaman yang sudah di hadapan mata ini perlu disikapi secara tepat.

Salah satu agenda akar rumput paling mendesak adalah meningkatkan peranan masjid di tengah masyarakat. Masjid yang tersebar di seluruh penjuru negeri hendaknya berperan aktif menangkal penyebaran gerakan teror yang mengancam ketenteraman sosial. Selain sebagai sarana ibadah, masjid harus mampu menyatukan semua elemen masyarakat dan menjadi garda terdepan dalam mempelopori terciptanya keamanan dan terejawantahnya nilai-nilai keberagamaan yang humanis.

Menghadapi tantangan ini, masjid kiranya perlu merumuskan kembali visi misinya dan mencanangkan reorientasi agenda vital masjid, serta memastikan pembaruan agenda-agenda masjid tersebut bersinergi dalam menciptakan rasa aman dan tenteram di tengah masyarakat. Diperlukan paradigma berbasis lokal dalam mengelola masjid. Setiap masjid dituntut mampu menjawab problem sosial dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat di sekitarnya (Supardi dan Teuku Amiruddin, 2001). Ini penting, karena masjid adalah representasi masyarakat. Masyarakat yang makmur merupakan cerminan masjid yang makmur sehingga mampu memakmurkan masyarakatnya.

Hubungan tak terpisahkan antara masjid dan masyarakat seharusnya dapat mempola suatu masjid secara alamiah. Masjid UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta misalnya. Difungsikan sebagai Laboratorium Agama, masjid ini dibangun di atas 3 konsep dan nilai esensial Islam (yaitu relasi manusia dengan Tuhan, manusia, dan lingkungan). Struktur fisik masjid dan aktifitas kegiatan di dalamnya didesain sedemikian rupa sehingga dapat menjawab kebutuhan masyarakat dan lingkungan masjid (para mahasiswa dan aktifitas perkuliahan kampus).

Lain di Yogyakarta, lain pula di kawasan rawan konflik seperti Ambon, Poso, dan Ternate. Ketika berkecamuk konflik, masjid difungsikan ganda; sebagai tempat berlindung dan markas kekuatan kelompok militan Muslim. Saat perdamaian tiba, masjid ikut mendukung dan merawat perdamaian di tengah masyarakat pasca konflik. Meski keterlibatan masjid di kawasan konflik tergolong pasif lantaran gagal mengantisipasi gejala-gejala konflik sedini mungkin (Irfan Abubakar, 2011), namun keterlibatan masjid di tengah dan pasca konflik menjadi bukti elastisitas masjid dalam merespon aktifitas sosial masyarakat. Karenanya, masjid memiliki dua opsi sekaligus, apakah “terpola oleh” masyarakat ataukah “mempola” masyarakat. Pemilihan opsi tersebut tergantung kehendak masyarakat.

Bagaimana masjid mempola masyarakat dapat dirujuk pada 3 tipikal masjid di pulau Jawa era Walisongo, yang memiliki fungsi berbeda satu sama lain. Pertama, masjid sebagai pusat pemerintahan Islam sekaligus pusat kegiatan keagamaan, seperti pada Masjid Agung Demak. Kedua, masjid sebagai pusat penyebaran Islam dan pusat kegiatan pendidikan (pesantren), seperti pada Masjid Sunan Giri di Gresik. Ketiga, masjid sebagai pusat berkumpulnya masyarakat dalam bingkai seni dan budaya, seperti pada masjid Gedhe Kauman Yogyakarta (M. Roqib, 2005). Kini, masjid-masjid bersejarah tersebut telah membentuk kultur masyarakatnya masing-masing seperti cita-cita para pendirinya.

Ketiga tipikal masjid era Walisongo, masjid UIN Sunan Kalijaga, dan masjid-masjid di tengah konflik memainkan peranannya masing-masing. Contoh-contoh tersebut mengantarkan kita suatu tesis penting tentang masjid, bahwa “pengelolaan atas masjid menentukan kultur masyarakatnya kelak”. Artinya, pengelola masjid menjadi penentu ke mana haluan masjid dan masyarakatnya di masa mendatang.

Sedemikian penting posisi pengelola masjid, maka menjadi wajar jika masjid perlu “diperebutkan” dan dimenangkan oleh kelompok masyarakat beraliran nir-kekerasan, inklusif, dan berwawasan kebhinnekaan. Atau setidaknya, tuan rumah masjid haruslah berasal dari pemuka masyarakat yang mengerti betul keadaan masyarakat dan apa yang dibutuhkan masyarakat. Dengan begitu, masjid memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif bagi terciptanya kedamaian di seluruh penjuru Nusantara.

*Penulis adalah mahasiswa Agama dan Filsafat, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline