Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Hilmy Zainuddin

Mahasiswa UIN Malang

Peran Persepsi Risiko dalam Adopsi QRIS Selama Pandemi Covid-19

Diperbarui: 6 September 2024   13:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Ilustrasi QRIS Mempercepat Adopsi Pembayaran Digital. (Sumber: Soloaja.co)


Peran Persepsi Risiko dalam Adopsi QRIS Selama Pandemi

Pandemi COVID-19 telah memaksa masyarakat global untuk beradaptasi dengan berbagai perubahan yang cepat dan signifikan, salah satunya adalah dalam cara kita melakukan transaksi keuangan. Di Indonesia, penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) sebagai metode pembayaran digital melonjak selama pandemi. Penelitian yang dilakukan oleh Denny Prasetya et al. (2024) dalam INTENSIF: Jurnal Ilmiah Penelitian dan Penerapan Teknologi Sistem Informasi memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana faktor-faktor dalam model Unified Theory of Acceptance and Use of Technology (UTAUT) mempengaruhi penerimaan teknologi QRIS di Jabodetabek selama pandemi. Menariknya, penelitian ini menunjukkan bahwa variabel persepsi risiko menjadi faktor paling signifikan dalam adopsi teknologi QRIS, terutama di tengah kekhawatiran masyarakat akan penyebaran COVID-19.

Sebagai seorang pakar sistem informasi yang telah mengamati teknologi pembayaran digital selama pandemi, saya melihat temuan ini sangat relevan dengan dinamika sosial-ekonomi saat itu. Survei yang melibatkan 384 responden ini menemukan bahwa 81% responden memilih menggunakan QRIS secara sukarela, sementara 70% melaporkan jarang menggunakannya sebelum pandemi. Hasil ini menunjukkan betapa besarnya peran pandemi dalam mempercepat adopsi pembayaran digital di Indonesia. Data dari Bank Indonesia juga mencatat kenaikan signifikan dalam transaksi menggunakan QRIS selama tahun 2020 hingga 2022, sejalan dengan kebijakan pemerintah yang mendorong penggunaan pembayaran tanpa kontak fisik.

QRIS, dengan standarisasi yang ditetapkan Bank Indonesia sejak 1 Januari 2020, menjadi solusi ideal bagi masyarakat untuk meminimalkan risiko kesehatan melalui transaksi digital. Namun, meski teknologinya telah tersedia, pertanyaannya adalah: seberapa besar dampak persepsi risiko kesehatan terhadap keputusan masyarakat untuk menerima teknologi ini?

****

Temuan Denny Prasetya et al. (2024) mengenai pengaruh persepsi risiko terhadap adopsi QRIS selama pandemi membuka diskusi penting mengenai faktor psikologis dalam penggunaan teknologi digital. Berdasarkan penelitian mereka, persepsi risiko (perceived risk) memiliki kontribusi sebesar 30,3% terhadap keputusan pengguna untuk mengadopsi QRIS, lebih tinggi dari faktor-faktor lain seperti ekspektasi kinerja (29,9%) atau pengaruh sosial (10,1%). Ini menunjukkan bahwa kekhawatiran masyarakat akan penyebaran COVID-19 secara langsung mempengaruhi keputusan mereka dalam memilih metode pembayaran yang lebih aman secara kesehatan.

QRIS, sebagai metode pembayaran nirkontak, dianggap efektif dalam mengurangi risiko penularan virus melalui uang tunai. Menurut penelitian, 78,4% responden mengaku tidak menyadari rekomendasi pemerintah mengenai penggunaan QRIS, namun mereka tetap menggunakannya karena kesadaran akan risiko kesehatan. Ini menyoroti bahwa meskipun informasi dari pemerintah belum sepenuhnya menjangkau masyarakat, persepsi individu mengenai keamanan kesehatan lebih berperan dalam mendorong penggunaan teknologi ini.

Faktor lain yang mendukung adopsi QRIS adalah kemudahan akses dan kompatibilitas teknologi. Sebanyak 66,2% dari total responden menyatakan bahwa QRIS mempercepat proses transaksi dan mengurangi durasi interaksi fisik. Hal ini penting karena dalam konteks pandemi, masyarakat cenderung mencari cara untuk meminimalkan waktu kontak dengan orang lain. QRIS, yang dapat diakses melalui berbagai platform seperti e-wallet dan mobile banking, menawarkan fleksibilitas dan kenyamanan bagi pengguna.

Namun, ada juga tantangan yang perlu diatasi. Hanya 7,8% dari responden yang menggunakan QRIS secara rutin, menunjukkan masih ada hambatan dalam adopsi yang lebih luas. Hambatan ini mungkin berasal dari kurangnya pengetahuan tentang manfaat teknologi ini atau terbatasnya akses ke perangkat yang mendukung, terutama di kalangan masyarakat yang lebih tua. Dalam penelitian ini, 60% pengguna QRIS berusia antara 25 hingga 34 tahun, menunjukkan bahwa adopsi teknologi masih lebih kuat di kalangan usia muda. Di sisi lain, kelompok usia yang lebih tua, khususnya di atas 55 tahun, mencatat angka penggunaan yang jauh lebih rendah, yakni hanya 3,4%.

Fakta bahwa persepsi risiko lebih berpengaruh daripada ekspektasi kinerja atau kemudahan penggunaan menegaskan betapa pentingnya aspek psikologis dalam adopsi teknologi di masa krisis. Penelitian ini membuktikan bahwa dalam situasi darurat kesehatan seperti pandemi, masyarakat lebih cenderung memilih teknologi yang mereka yakini dapat melindungi kesehatan mereka, meskipun mereka mungkin tidak sepenuhnya memahami manfaat atau kemudahan teknologi tersebut.

Kesimpulan dari penelitian Denny Prasetya et al. (2024) menunjukkan bahwa persepsi risiko adalah faktor utama dalam penerimaan QRIS selama pandemi, dengan kontribusi terbesar dalam mempengaruhi keputusan pengguna. Fakta bahwa persepsi ini lebih berperan daripada faktor kinerja teknologi menunjukkan pentingnya elemen psikologis dalam adopsi teknologi, khususnya dalam situasi krisis kesehatan. Pandemi COVID-19, meski penuh dengan tantangan, telah menjadi katalis bagi masyarakat Indonesia untuk lebih terbuka terhadap teknologi pembayaran digital seperti QRIS.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline