Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Hilmi

Dengan membaca kita mengenal dunia, dengan menulis kita akan dikenal dunia

Apa Itu Toleransi dan Moderasi Beragama

Diperbarui: 24 Desember 2022   17:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

[Apa itu Toleransi Beragama...??]
________________________________

Lebih kurang 5 tahun, saya dan keluarga tinggal di sebuah desa terpencil di wilayah transmigrasi Merauke, Papua. Nama desa itu Isanombias, di distrik Tanah Miring Sp. 6.

Di desa itu, warga hidup berdampingan dengan segala macam latar belakang yang berbeda; suku, ras dan agama.

Beberapa teman sekolah, teman main, tetangga, guru sekolah banyak juga yang beragama Kristen, Katolik & Protestan (saya tidak terlalu faham perbedaan kedua). Ada juga sedikit yang Hindu Bali.

Pak guru saya, namanya Pak Martinus Okpit, seorang putra asli Papua bersuku Muyu yang beragama Kristen. Anaknya tiga, salah satunya namanya Ambo, itu temen sekolah dan teman main saya.

Keluarga saya sendiri, adalah keluarga muslim taat. Bapak saya tersebut sebagai guru ngaji di kampung itu dan di kota Merauke. Beliau membina beberapa jamaah taklim, sama seperti yang saya lakoni saat ini.

Tetangga rumah saya, ada Pak Paulus Sangsang, beliau orang Jawa Kristen asli Jogja yang menjadi kepala sekolah di SD tempat saya bersekolah. Hampir setiap sore, beliau mancing berdua dengan bapak saya yang seorang Kiyai kampung itu.

Anaknya pak Sangsang ada dua, anak yang pertama namanya Danar, itu teman saya, dan anak yang kedua namanya Darwin teman sekolah dan teman mainnya almarhum adek Saya, Sururi.

Nah, saking akrabnya, adik saya sering makan bareng sama si Darwin itu. Kalau mau makan adik saya baca doa makan untuk muslim, dan si Darwin pakai tanda isyarat salib di jidat dan kedua bahunya.

Ada juga tetangga yang asli Toraja, yang juga beragama Kristen. Namanya Pak Yohanes. Dia orang yang ramah seperti ibu saya. Tiap lewat rumah saya, selalu saling sapa dengan bapak ibu saya. Bahkan kalau mau ke gereja pun bilang, "sa-pi ke gereja".

Bu Guru saya, wali kelas saya di kelas 5, saya juga lupa namanya, beliau orang Hindu Bali. Setiap hari minggu, dari jam 7 sampai jam 1 siang, merelakan rumahnya untuk tempat nobar TV berwarna.  Karena Beliau orang pertama di kampung yang punya TV berwarna dengan "payung terbalik" parabola.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline