Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Hilmi

Dengan membaca kita mengenal dunia, dengan menulis kita akan dikenal dunia

Kampanye Politik dan Kenetralan Lembaga Pendidikan

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saat ini, jelang pilpres, semua manusia Indonesia sibuk mengkampanyekan calon pilihannya. Baik kampanye pribadi (secara individu) maupun kelompok. Dari sekian banyaknya lembaga, kelompok masyarakat yang terlibat kampanye, ada satu lembaga yang seharusnya netral dan tidak terlibat langsung kampanye tersebut. Ya, itu lembaga pendidikan.


Pesantren, sekolah, kampus, dan lain sebagainya dari macam lembaga pendidikan, sudah seharusnya bersikap netral tidak mendukung secara langsung calon idamannya. Karena, walau bagaimana pun, lembaga pendidikan adalah lembaga milik bersama yang didalamnya terkumpul banyak manusia dalam satu misi pendidikan. Kebersamaan misi ini selayaknya jangan dirusak dengan perbedaan pandangan politik yang disuarakan langsung dilembaga itu.
Sebagai pihak yang peduli pendidikan dan lembaganya, selayaknya kita tidak menggelar ritual kampenye politik secara langsung di dalamnya, baik itu terang-terangan maupun terselubung. yang dikemas dalam berbagai acara.
Sebagaimana kita maklum, model kampanye politik akhir-akhir ini, sangat tidak sportif dan tidak bersih. Bagaimana tidak, dalam satu waktu, pendukung salah satu capres "merasa" menjadi korban fitnah sementara dia juga memfitnah. Dan hal itu dilakukan oleh semua pendukung fanatik calon.
Kembali pada masalah lembaga pendidikan, yang didalamnya ada direktur lembaga (jika itu swasta), ada kepala sekolah, ada dewan guru, ada siswa/i beserta walinya. Dari sekian banyak fihak yang terlibat dalam lembaga itu, penulis yakin betul jika semua dalam satu tujuan, yaitu pendidikan. Tapi toh seperti itu, persamaan dalam urusan pendidikan belum tentu sama dalam pandangan politik. Maka hal ini yang perlu dijaga.
Seorang wali murid yang mencabut anaknya dari sekolah hanya karena ia tahu di sekolah tersebut mengkampanyekan salah satu pasangan calon yang berbeda dengan pilihan si wali murid. Atau, seorang guru yang tidak lagi konsentrasi dalam mendidik karena kepala sekolah perbeda calon dengannya. Nah, jika ini yang terjadi, mau dibawa kemana lembaga pendidikan ini?
Tapi terkadang, ajakan untuk netral (tidak kampanye secara langsung) diartikan oleh oknum yang tak bertanggung jawab sebagai upaya pembodohan dan pendangkalan tentang wawasan politik dan berpolitik. Pendidikan politik itu penting, dan seharusnya diajarkan dan dikenalkan di lembaga-lembaga pendidikan. Tapi yang dibutuhkan adalah pengenalan dan pembelajaran politik dengan cara yang sehat yang santun serta mencerahkan serta bersikap netral.
Kemudian timbul pertanyaan, "bukankah kampanye parpol, capres dan pernak-perniknya bagian dari pendidikan politik?"
Jawabannya, "betul banget, itu semua bagian dari pendidikan politik. Tapi pendidikan yang tidak mencerahkan dan mengajarkan permusuhan".
Dan yakinlah, ketika pendidikan politik diadakan dengan jalur kampanye, tak akan ada pencerahan yang didapat, justru wajah buram politik yang terlihat.
Bagaimana pun, yang namanya kampanye mendukung salah satu calon tak akan bersikap netral. Itu sebabnya, mari jauhkan lembaga pendidikan kita dari ingar bingar kampanye politik yang tidak sehat. Biarkan lembaga pendidikan tetap pada fitrahnya.
Salam pendidikan.
Oleh: Ahmad Hilmi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline