Lihat ke Halaman Asli

Adakah Kaidah Membaca Singkatan Asing?

Diperbarui: 22 Januari 2016   18:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak dapat disangkal lagi kalau kata Master of Ceremony lebih tenar daripada kata Pembawa Acara. Terbukti kalau kekerapan kata Master of Ceremony—yang juga tenar disingkat MC—lebih sering dipergunakan daripada kata Pembawa Acara. Dalam acara pernikahan, khitanan, pesta ulang tahun, hingga nama salah satu mata kuliah dalam jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia pun memakai MC (Master of Ceremony), bukan mata kuliah Pembawa Acara. Memang dalam hati (sebagian) orang Indonesia, bahasa Inggris lebih berwibawa dibandingkan dengan bahasa Indonesia.

Saya pernah disalahkan ketika menyingkat-baca Master of Ceremony dengan /em-si/, sebab katanya harus dilafalkan /em-ce/. Meskipun itu merupakan kata murni dari bahasa Inggris, tapi ketika disingkat kata tersebut (katanya) harus dilafalkan secara Indonesia.

Aturan yang ada bahwa jika singkatan haruslah dilafalkan dalam abjad Indonesia, tanpa mempedulikan bahasa asal kata-kata yang termuat dalam singkatan tersebut. Misalnya singkatan WHO, HP, IMF, HP, COD, dan WBA yang meskipun murni singkatan bahasa Inggris, tapi dilafalkan dalam abjad Indonesia.

Namun, untuk beberapa singkatan yang juga berasal dari bahasa Inggris, kita terbiasa melafalkannya secara Inggris saja. Misalnya singkatan CD, DVD, VCD, CIA, CV, TV, dan CPU. Biasakah kita melafalkannya dengan /ce-de/, /de-ve-de/, /ve-se-de/, /ce-i-a/, /ce-ve/, dan /te-ve/? Saya berkeyakinan, kalau kita secara spontan akan melafalkannya: /si-di/, /di-vi-di/, /vi-si-di/, /si-ai-ei/, /si-vi/, /ti-vi/, dan /se-pe-u/. Sebab memang begitulah kita biasa mengucapkannya.

Di samping itu, akronim—yang dalam KBBI (2008:29) berarti kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata wajar—mesti dilafalkan sesuai dengan bahasa asalnya. Misalnya akronim UNESCO, harus dilafalkan /yu-nes-ko/, UNICEF harus dilafalkan /yu-ni-sef/.

Dikorek-korek lagi, ternyata ada juga singkatan yang murni berasal dari kata Inggris tapi dilafalkan setengah-setengah. Artinya sebagian hurufnya dilafalkan abjad Indonesia, sebagian lagi dilafalkan abjad Inggris. Misalnya singkatan AC dan TBC yang biasa dilafalkan /a-se/ dan /te-be-ce/. Huruf A dari AC dilafalkan Indonesia, sedangkan huruf C dilafalkan Inggris. Begitupun singkatan TBC yang dilafalkan setengah Indonesia setengah Inggris.

Kaidah ejaan kita melulu berfokus pada aturan penulisan saja, sedangkan untuk pelafalan dan dialek dalam tuturan tidak diatur se-sistematis masalah tulisan. Misalnya kata “peka” bisa diucapkan dengan beragam. Ada yang membaca peka seperti /e/ pada kata lemas, dan péka dengan /e/ tajam seperti pada kata lempar. Sebab bahasa huruf /e/ yang satu-satunya dalam bahasa Indonesia, memiliki bunyi lebih dari satu. Akan tetapi, tak ada ciri cara membedakannya, kecuali dengan membuka kamus.

Tujuan disusunnya sistem bahasa adalah untuk membuat seragam dalam berbahasa, lebih-lebih dalam suasana resmi. Namun, sekalipun kaidah ragam tulis kita diseragamkan dengan diaturnya EYD, tapi ternyata ragam lisan kita masihlah beragam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline