Lihat ke Halaman Asli

Masa (yang tak) Kecil

Diperbarui: 10 Januari 2016   18:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Masa kecil hanyalah dua hal : dirindukan atau dilupakan. ‘Dirindukan’ sebab masa kecil adalah ruang waktu bahwa hidup sangatlah mudah. Menghirup napas lalu menghembuskannya kembali. Tanpa sengal. Tanpa tersendat-sendat (seperti saat ini). Segala yang saya mau tinggal cemberut saja lalu apapun yang saya mau akan berpindah pada tangan saya. Segala hal jelma dengan sedikit rajukan dan rengekan. Andaikata susah-susah amat mendapatkannya, ya… menangis sejadi-jadinya sambil ngesot (baca: kokosodan). Nanti juga dikabulkan.

Kemudian ‘dilupakan’ bahwa masa kecil (kira-kira 7 atau 9 tahunan) adalah masa berkombinasinya kepayahan dan keculunan (atau kelucuan?). Saya payah dalam hal-hal di luar pelajaran sekolah (meskipun hal-hal dalam pelajaran sekolah tidak jago-jago amat juga). Hal-hal semacam menggaet wanita, balap lari, mancing, berenang di wahangan, paling boyot meloncati pagar empunya jambu batu, paling keok balapan tamiya, hanya jadi figuran kalau-kalau sesi rumah tangga-rumah tanggaan, dan banyak lagi.

Culun memang culun. Umuran puber adalah masa tingkat kepedean saya berada pada titik paling rendah, atau bisa dikatakan berada pada koordinat jenuh (titik jenuh). Gaya rambut –yang kata si bapak—potongan mandarin. Yang saban habis dipotong rambut saya kerap kehilangan cambang pede. Sebab gaya rambut ini memang membabat habis rambut samping dan belakang. “Tuh pan siga Andy Lau kieu mah” celetuk bapa saya ngupahan sebab saya suka cemberut-buta saban habis diparas begitu. Lebih-lebih karena rambut saya mengkilat bagai kilat sehabis diolesi Brisk. Anehnya, setiap akan dicukur saya suka diamplopi duit, maklumlah sudah tahu pasti jelek ya mending milih kabur. Daripada susah cari, mending kasih cebu. Deal.

Cukup dengan rambut saya. Turun ke bawah. Wajah saya oval, bulat tapi agak sedikit kotak (saya juga bingung), dengan mata sipit-sipit siput, dan gigi seri depan yang raib ticatrok tiang gawang sewaktu main bola berhujan-hujan.. Kalau senyum, jadi mirip-mirip pak Tile begitu. Jadi, kalian bisa berhipotesis tentang air muka jadul saya. Tanpa perlu riset atau meneliti fosil saya terlebih dulu.
      Masih keculunan (emang ada kerennya? Nihil!) saya. Badan saya di masa lalu agak subur, gempal tapi lincah dan gesit seperti Honda Blade. Hanya tinggi saya kurang ideal dengan berat badan tersebut. Maka jadilah julukan buntet tersemat pada diri ini. Kejamnya, yang melantik saya dengan julukan tersebut adalah kakak saya bersama antek-anteknya (baca: masih kakak saya). Meskipun ada satu sisi diri saya yang ingin membenci masa-masa ini, namun seutuhnya saya mencintai masa-masa kecil saya.
      Hari pertama masuk SD, saya sempat kesal , tidak terima, dan mogok untuk masuk sekolah. Alasannya sepele. Saya hanya iri ketika kawan-kawan saya berangkat sekolah diantar mamanya, emaknya, ibunya, ibundanya, mamihnya, atau uminya tapi saya tidak. Saya malah diantar teteh saya yang kebetulan masuk sekolah siang. Setelah diberi pengertian bahwa mama harus ke pasar belanja sayuran dan dijual di warung depan rumah, jadi tidak bisa mengantar, barulah saya mau berangkat. Itupun dengan minta jajan tambahan. Sialnya saya belum pernah diantar mama seperti kebanyakan kawan. Mungkin ini alasan saya jadi agak peka dan sedikit cengeng (nguping cerita teteh). Teteh bercerita kalau tidak ada mukanya mendongak di mulut jendela, saya menangis. Kalau pensil saya patah, saya menangis. Kalau ditanya oleh guru hal mudah dan tidak bisa menjawab (misal: “apa tadi pagi mandi?”), saya menangis. Dan katanya masih banyak kecengengan-kecengengan saya yang menurut saya ini terlalu dilebih-lebihkan. Terlalu dibikin drama. Walaupun saya membenarkan pada akhirnya.

Satu-satunya waktu yang ditunggu-tunggu sewaktu sekolah adalah jam pulang. Sebab selepas dari sekolah saya bersama kawan-kawan saya kerap menuju wahangan terdekat dan terfavorit. CB atau Curug Benda. LA atau Leuwi Aceng. Adalah referensi vakansi saya bersama kawan. Di sana kami berenang, meski sebenarnya saya satu-satunya orang yang hanya berendam saja dan tak pantas disebut berenang. Setelah puas biasanya kami berjalan pulang sambil-sambilan. Sambil meminta jambu batu dengan sembunyi-sembunyi (pasti paham), sambil melempar surat lipat kepada “si ehmm” yang berisi “Atos ngaos, ulah waka uih nya, Anjar gaduh jambu batu seueur. Ttd. Anjar”. Artinya ajakan untuk kencan ala bocah ingusan.

Sehabis mengaji magrib, saya pulang dan si ehm belum pulang. Artinya, si cantik sudah membaca surat tadi siang yang saya lempar ke ventilasi kamarnya. Ventilasi kamarnya berada di pinggiran gang sekitar rumahnya. Jadi mudah untuk mengirim surat. Dulu, zaman saya kecil, handphone belum hinggap di hidup kami. Dan surat, menurut saya adalah alat komunikasi purba yang unik yang penuh kesan. Apalagi berkirim-kabar sama si pacar. Romantis. Anak kecil sekarang, bocah SD sudah dibekali gadget oleh emak-abahnya, kecilnya mereka diberi android. Pedekatena paling lewat SMS, kagak ada kesan romantisnya. Kasihan.
      Di kampung saya ada pengusaha bakso, yang saban hari pasti lewat depan rumah saya sambil menggembol ratusan biji bakso. Yang saban hari juga saya bersama geng jagoan neon menadah jatah (minta) sebagai bea cukai. Setiap libur saya dan geng juga kerap menumpang becak yang lalu-lalang lewat kampung kami. Lepas naik dan diturunkan, pulang lagi jalan kaki, numpang lagi, begitu lagi. Tentunya saat becak masih menjadi primadona.
     Atau juga menjahili Mang Engkos, penjaga matrial dekat gapura gang saya. Menjahilinya cukup gampang. Mang Engkos itu pemarah. Jadi dengan melempar ular-ular karet, mengambil kabur gerobak semen, atau menculik jaket Levi’s-nya pun kita akan dikejarnya sampai mampus. Beberapa tahun silam Mang Engkos meninggal dunia. Semoga beliau memaafkan kami juga ditempatkan di tempat yang paling baik di sisiNya. Dan tidak menghantui karena ulah kami yang kalau frustasi dikejar suka berteriak “kokoooossaaaaan….”. Aamiin. Kokosan adalah buah semacam duku, namun rasanya asem-asem manis. Saya kira, kokosan berasal dari basa Sunda.

Menuju sore, ada yang selalu saya tunggu setiap Senin-Jumat pukul 15, yaitu serial ninja Jiraiya. Tokoh favorit saya. Ninja beseragam merah yang punya jurus andalan “Pedang Cahaya Kemilau!” yang sudah pasti setelah ini monsternya akan tewas juga memastikan tayangan ini akan berakhir. Jiraiya menginspirasi saya bercita-cita menjadi ninja, meskipun lambat laun cita-cita itu kandas di rerumputan. Saya sering menonton sembari menikmati sajian nasi aron. Yaitu nasi sisa yang dijemur hingga kering membeling lalu digoreng sampai mengembang. Ditaburi Masako dan dinikmati bersama teh manis hangat.

Masuk malam, adalah waktu senang-senang susah. Sebab pada jam-jam ini saya tidak boleh dulu tidur sebelum belajar membaca dan menghitung. Itupun tidak cukup. Sebab setidaknya saya harus mampu menghapal minimal 5 abjad dan dua raraban. Kalau tidak cubitan mamah yang manis akan menimbulkan tanda love di pipi saya. Senangnya, setelah belajar, saya boleh meminta dibelikan barang di pasar (yang terjangkau tentunya) atau memesan menu makan untuk besok.

Begitulah, masa kecil saya adalah masa kecil yang keras-lembek. Keras karena lingkungan saya menuntut menjadi batu di tengah kali. Tidak boleh mudah terkikis, goyah atau bahkan mudah terbawa arus secara paksa. Salah satunya dengan cara belajar saya di atas. Lembek karena emak saya-lah yang membuat hati saya selembek Hun Kwe. Menjadikan hati saya dibiarkan menjadi masinis tubuh. Kalau bisa ia menghendaki perasaan saya menjadikan tuan bagi logika saya. Untung saja saya berontak. Saya bilang “Macam itu serupa betina, Mak!”.

Masa kecil adalah hari-hari tanpa hitam. Seperti main perosotan pada pelangi setiap waktu. Setiap mau. Jungkat-jungkit di kerajaan awan bikinan sendiri, atau seperti berkubang di genangan hujan saban detik. Sebab segala hal macam indah untuk dikerjakan.

Masa kecil saya berbeda dengan masa sekarang. Digital ada dimana-mana. Kuno dianggap primitif dan purba. Sekarang musti modern. Musti canggih. Musti serba instan, cepat saji dan serta-merta. Yang padahal sebenarnya itulah yang mengikis nilai-nilai budaya dan adat kita.
Meski banyak kepayahan dan keculunan di masa kanak saya, saya bersumpah. Hari ini, saya amat sangat rindu sekali pada masa kecil yang kental dengan kepongahan, keluguan, kepolosan, adat-istiadat, gotong royong, saling menghargai dan saling percaya. Saya rindu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline