Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Fazlur Rahman

Psychology Student at Universitas Brawijaya

Hangat

Diperbarui: 6 Desember 2024   23:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi tetesan air di kaca jendela, oleh Irina Iriser via Pexels.

Aku memeluk sepi

Imbas ia mengakarkan diri

Padahal, aku tak memilihnya berada di sini

Ia memaksa tinggal, menolak untuk pergi

Bahkan ketika aku tersadar

Bahkan ketika aku sudah turun tangan

------

Bayangku tertanam pada rumah berkaca tinggi-tinggi. Tubuhnya yang megah sempat diselimuti kabut debu dan ranting-ranting kayu rusak imbas terduduknya dirinya di bawah pohon mangga. Nahas, figur usangnya itu tersiram hujan air yang membasuh satu muka dunia dari atas langit hingga kaki-kaki jalan. Lantas, rumah itu menjadi gelap, seakan-akan bumi menelannya dalam kebisingan beribu ketukan cabang pohon yang menyuruhnya untuk segera menutup pintu dan jendela sebab kalau tidak, dipastikan lantai-lantai keramik kering di dalam tubuhnya berubah jadi tergenang.

Mataku terpaku pada guntur dan angin yang memadu kasih di luar sana. Sangat dekat, tetapi juga sangat jauh dari tempat berdiriku. Dahiku mengernyit menyaksikan kisah mereka yang makin kelam, pula makin besar. Tanganku berpegangan erat pada badan sang jendela.

"Hujan ini pasti lama berakhirnya," keluh batinku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline