Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Fauzi

Menulis apasaja, Berharap ada nilai manfaat dan membawa keberkahan. Khususnya, untuk mengikat Ingatan yang mulai sering Lupa.

Kebijakan Nontunai (E-Toll) Pandang Fiqh, Buya Yahya Menurutku

Diperbarui: 23 Oktober 2017   11:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: www.kimasabri.com

Dalam sebuah kesempatan pengajian umum, yang dishare di akun youtube "Albahjah TV", Buya Yahya ditanya oleh salah satu jama'ah, terkait hukum Pembayaran Nontunai (E-Toll)---sebagaimana yang hingga saat ini, masih hangat dalam perbincangan publik--- dengan istilah yang dipakai oleh Pemerintah dan Bank Indonesia sebagai Gerakan Nasional Nontunai (GNN) itu.

Apa jawab Buya Yahya---seorang da'i muda  bernama asli Yahya Zainul Ma'arif---saat ditanya persoalan tersebut? Pada prinsipnya, Jawaban Buya Yahya mengaitkan sistem ekonomi yang cenderung "ribawy", artinya, pada zaman kekinian (akhir zaman), ummat memang dihadapkan pada satu sistem ekonomi yang cenderung riba.  Riba jelas haram, katanya tegas. Pada konteks kekinian akhir zaman, kalian akan dihadapkan pada kondisi dimana sulit menghindar dari riba. Meskipun kita ingin menghidar darinya, maka akan terkena "debu"nya (riba:red). Namun begitu, tidak berarti kita musti menyerah pada sistem riba. Katanya.

Selanjutnya, dengan panjang dan agak teknis buya Yahya memaparkan solusi-solusi yang mungkin dilakukan menurut perspektif keimanan. Misalnya, menyarankan untuk ummat islam memperbanyak istighfar karena tidak ada pilihan menggunakan sistem E-toll untuk menggunakan Jalan toll. Selanjutnya, disamping istighfar menggantinya dengan beramal kebaikan (sedekah) dst.

Apa yang disampaikan oleh ust. Yahya Zainal Ma'arif atau lebih kondangnya Buya Yahya, adalah pandangan yang jujur dalam perspektif hukum islam (fiqh), ketika melihat satu permasalahan, dalam konteks ini, adalah kebijakan Gerakan Nasional Notunai (E-Toll) dalam pandangan hukum Islam (fiqh). Artinya, tanpa harus tendensi kepada pihak pemerintah dan atau sistem ekonomi yang mendominasi dan atau karena alasan-alasan lainnya, harusnya hukum islam (fiqh) memang berbicara. "Qull alhaq walau kana murran".  Katakanlah yang benar, meskipun menyakitkan, dan Katakanlah yang halal adalah halal dan yang haram adalah haram.

Setidaknya, dalam konteks hukum Islam (fiqh) ada beberapa kaidah hukum (qhowaidul Fiqh) yang dipakai dalam menggali hukum, sebelum kemudian menetapkan apakah halal dan ataukah haram. Lebih jauh, Negara (pemerintah) punya peran strategis dan sentral untuk menciptakan apa yang disebut dengan "dar'ul mafasid wa jalbu almasholih"artinya, menutup ruang dan atau menghindari terjadinya kerusakan, kesempitan, tekanan dll dan membuka ruang selua-luasnya demi kesejahteraan dan kemaslahan umum. 

Disinilah harus ditempatkan dan dilihat bagaimana peran strategis dari Negara. Dimana yang harus diutamakan dan menjadi prioritas adalah menghindari terjadinya kerusakan (fasd) yang lebih besar. Artinya, negara tidak boleh dengan serampangan dan gegabah mengeluarkan kebijakan yang jelas-jelas membawa "fasd" yang lebih banyak pada ummat (publik).

Jelas kebijakan E-Toll melalui Permen PUPR No. 16/PRT/M/2017, bersifat memaksa, sepihak dan merugikan pihak lainnya (Kosumen, Red). tidak memberikan ruang pilihan (optional) untuk memilih jenis pembayaran kepada konsumen yang secara konstitusional diberikan hak untuk memilih transaksi pembayaran. bertabrakan dan melanggar terhadap peraturan dan Perundang-undangan yang lainnya, misalnya UU Tentang Perlindungan Konsumen, UU HAM, Undang-undang Tentang Jaminan Produk Halal, UU tentang Mata Uang juga masalah yang tidak kalah penting, melihat kebijakan yang serampangan dan terburu-buru ini.

Disamping itu, peran negara untuk mencegah dan menghindari terjadinya kerusakan (fasd) sama sekali tidak dilakukan dalam konteks kebijakan Gerakan Nasional Nontunai (GNN). Alih-alih mencegah dan menghidari terjadinya fasd,Negara melalui pemerintah bersama-sama dengan korporasi perusahaan Toll dan beberapa Bank konvensional juga Bank Indonesia, dengan sengaja melakukan "konspirasi"agar program Gerakan Nasional Nontunai (GNN) yang jelas-jelas haram ini bisa dilakukan dengan cepat dan meskipun dengan jalan dipaksakan.

Demikian halnya, terkait "jalbul Masholih" atau membuka ruang seluas-luasnya kemaslahan umum. Dengan mudah bisa diukur dan dihitung, apakah kebijakan Gerakan Nasinonal Nontunai (GNN) ini memberikan kemasalahan untuk masyarakat secara luas atau hanya sebagiankecil yang diuntungkan? Untuk yang terakhir ini saya kira cukup gamblang dan jelas, hanya beberapa bank konvensional dan perusahaan toll tentunya yang diuntungkan. Lalu pertanyaan lanjutannya, masyarakat diuntungkan dalam hal apanya? Bukankan dalam kebijakan robotik ini juga terbuka ruang dan ancaman PHK Massal dan mengancam sebagian besar pekerja toll sendiri?

Saya sedih dan miris, apabila nantinya ---- saat Majelis Ulama' Indonesia (MUI) dimintakan fatwa tentang hukum E-Toll oleh masyarakat----kemudian jawabannya adalah halal dan boleh. Bisa dipastikan fatwa semacam ini, adalah fatwa yang kurang tepat. Mungkin majelis fatwanya, kurang memahami masalah atau jangan-jangan memang sengaja membuat masalah. Semoga tidak, wallohua'lam

berikut link youtube albahjahTV




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline