Lihat ke Halaman Asli

Sistem Zonasi Solusi Kebijakan Pemerataan Pendidikan?

Diperbarui: 25 September 2023   13:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Upaya pemerintah dalam mengurangi kesenjangan yang terjadi di masyarakat merupakan amanat dari nawa cita Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. 

Sistem zonasi merupakan salah satu kebijakan yang ditempuh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menghadirkan pemerataan akses pada layanan pendidikan, serta pemerataan kualitas pendidikan nasional. 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menyampaikan bahwa zonasi menjadi salah satu strategi pemerintah yang utuh dan terintegrasi. 

Kebijakan yang mulai diterapkan sejak tahun 2017 yang lalu ini telah melalui pengkajian yang cukup panjang dan memperhatikan rekomendasi dari berbagai lembaga kredibel. Zonasi dipandang strategis untuk mempercepat pemerataan di sektor pendidikan.

Sistem zonasi ini merupakan puncak dari rangkaian kebijakan di sektor pendidikan yang diterapkan dua tahun terakhir ini. Tujuannya untuk mengurangi, kalau perlu menghilangkan ketimpangan kualitas pendidikan, terutama di sistem persekolahan. 

Selama ini, menurut Mendikbud, terjadi adanya ketimpangan antara sekolah yang dipersepsikan sebagai sekolah unggul atau favorit, dengan sekolah yang dipersepsikan tidak favorit. Dikotomi sekolah favorit dan tidak favorit dipandang dapat memperuncing perbedaan dan memperbesar kesenjangan. 

Hal tersebut, menurut Mendikbud tidak boleh dibiarkan berkepanjangan. Ini persoalan persepsi, dan soal mental. Karena itu, sistem zonasi ini juga merupakan bagian dari upaya Indonesia melakukan revolusi mental masyarakat, terutama persepsinya tentang pendidikan.


Upaya-upaya pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan salah satunya yaitu:

  • Pendidikan dari sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah pertama (SMP) tidak dipungut biaya. Ini diharapkan semua anak yang akan masuk SD dan SMP di seluruh Indonesia dapat bersekolah.
  • Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan di seluruh sekolah dengan subsidi dari APBN
  • Melaksanakan revitalisasi serta penggabungan (regrouping) sekolah-sekolah terutama SD, agar tercapai efisiensi dan efektivitas sekolah yang didukung dengan fasilitas yang memadai.
  • Membangun sarana dan prasarana yang memadai termasuk sarana olahraga untuk setiap sekolah baik yang di perkotaan maupun pedesaan sesuai kebutuhannya.
  • Memberikan kepada siswa yang berprestasi dan/atau dari keluarga yang tidak mampu. Agar siswa dapat terus menuntut ilmu tanpa mempermasalahkan biaya pendidikan
  • Untuk di Perguruan Tinggi harus meningkatkan kapasitas tampung, terutama untuk bidang-bidang yang menunjang kemajuan ekonomi, penguasaan sains dan teknologi, serta meningkatkan kualitas kehidupan.
  • Mendorong peningkatan peran swasta melalui perguruan tinggi swasta. Ini agar kalau ada mahasiswa yang tidak mendapat perguruan tinggi bisa melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi swasta, tentu saja dengan mutu dan kualitas perguruan tinggi swasta harus bisa sesuai standar pemerintah.
  • h)Menyebarkan kapasitas pendidikan tinggi secara geografis untuk mendukung pembangunan daerah serta memberi kesempatan bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah termasuk kelompok masyarakat dari daerah bermasalah, dengan menyelenggarakan pembinaan perguruan tinggi sebagai pusat pertumbuhan di kawasan serta menyelenggarakan pembinaan program unggul di wilayah kedudukan perguruan tinggi.
  • Menyebar lulusan guru-guru ke daerah-daerah yang masih minim tenaga pengajarnya. Agar tidak terjadi penumpukan lulusan guru di suatu daerah sehingga banyak lulusan guru yang bekerja di bukan keahliannya. Sedangkan di daerah lain masih kekurangan tenaga guru

Permasalahan Sistem Zonasi Sekolah

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang zonasi sekolah sejak tahun 2016 menjadikan aturan tersebut sebagai tujuan untuk mewujudkan pemerataan akses pada layanan dan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia (Kemendikbud.go.id, 2019). Dalam pelaksanaannya, Sistem Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masih diwarnai dengan sejumlah permasalahan di lapangan. 

Pada tahun ajaran 2019/2020 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan permasalahan tentang sistem dalam PPDB yaitu tentang jarak rumah yang tidak terverifikasi dengan tepat untuk PPDB SMA di Cikarang Utara. Di daerah Solo, terdapat calon siswa yang terancam tidak dapat bersekolah akibat tidak dapat diterima di SMP Negeri karena SMP Negeri terdekat berjarak 10 kilometer dan Kartu Keluarga (KK) terdaftar di dalam wilayah luar kota (Republika.co.id, 2019). 

Munculnya kebijakan atas aturan zonasi dalam PPDB ini menimbulkan tindakan kecurangan dalam pelaksanaannya. Ombudsman RI mengungkapkan adanya praktik kecurangan yaitu jual beli kursi dalam aktivitas PPDB di SMA wilayah Kabupaten Bogor (Medcon.id, 2019).

Hal yang sama juga terjadi pada SMK di wilayah Kabupaten Tengerang (Metro.tempo.co, 2019). Selain itu, terdapat praktik kecurangan lainnya yaitu ditemukan beberapa calon peserta didik yang mendaftar di SMA 3 dan SMA 5 Bandung dengan menggunakan alamat yang sama, sedangkan delapan calon siswa tersebut berasal dari SMP yang berbeda sebelumnya (Kompas.com, 2019). Hal ini menjadi bukti bahwa pemahaman masyarakat terkait tujuan dari kebijakan zonasi PPDB masih tergolong rendah, sehingga orang tua akan memaksa anaknya untuk dapat bersekolah di sekolah yang dianggap sebagai sekolah unggulan.

Kebijakan mengenai zonasi PPDB 2019 telah diatur di dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 20 Tahun 2019 perihal perubahan kebijakan Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB pada tingkat pendidikan Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). 

Berdasarkan kebijakan Permendikbud tersebut, PPDB 2019 wajib menggunakan tiga jalur, yaitu jalur zonasi (minimal 80 persen dari daya tampung sekolah), jalur prestasi (5-15 persen dari daya tampung sekolah), dan terakhir yaitu jalur perpindahan tugas orang tua atau wali calon siswa (minimal 5 persen dari daya tampung sekolah). Dari ketentuan tersebut, fokus kebijakan ini lebih mengarah pada jarak antara tempat tinggal berdasarkan alamat dengan sekolah sebagai acuan dalam PPDB 2019. Atas dasar aturan tersebut yang selanjutnya menimbulkan sejumlah masalah dalam praktik PPDB 2019.

Permasalahan Pertama terkait sistem zonasi yang ditemukan yaitu ketersediaan sekolah negeri yang ada masih belum merata di semua daerah di Indonesia. Sebaliknya mengacu pada aturan zonasi mewajibkan calon siswa untuk mendaftar ke sekolah terdekat dari rumah sesuai alamatnya. Aturan zonasi tersebut mengakibatkan sejumlah calon siswa terancam tidak dapat mengenyam pendidikan atau bersekolah karena tidak adanya sekolah yang tersedia di daerah tempat tinggalnya. 

Masih belum meratanya jumlah sekolah negeri yang diperparah dengan rasio daya tampung sekolah lanjutan dengan lulusan sekolah asal sebelumnya belum seimbang. Daerah kota Bekasi, daya tampung SMP masih minim, yaitu pada tahun 2019 sebanyak 56 SMP Negeri di Kota Bekasi hanya bisa menampung sekitar 31 persen lulusan SD. Padahal, jumlah lulusan SD berkisar 43.000 siswa, sementara daya tampung yang tersedia baru hanya sekitar 14.000 siswa (Medcom.id, 2019). Melalui data ini menunjukkan bukti kurangnya kesiapan pemerintah daerah dalam penentuan zona sekolah.

Permasalahan Kedua terkait sistem zonasi yaitu kebijakan yang memprioritaskan jarak (sekolah dan rumah/alamat calon siswa) menyebabkan turunnya motvasi belajar siswa, karena nilai atau prestasi tidak dianggap penting dalam menentukan di mana siswa ingin bersekolah. Berdasarkan aturan sistem zonasi, calon siswa yang mendaftar dapat diterima di sekolah negeri meskipun hanya dengan nilai seadanya. 

Hal berikut kemudian menjadi kontra produktif dari tujuan utama kebijakan zonasi yaitu untuk pemerataan kualitas pendidikan dengan peningkatan prestasi akademik dari siswa di sekolah. Apabila siswa dipaksa belajar di sekolah yang bukan menjadi sekolah pilihannya, maka hal tersebut dapat menurunkan motivasi siswa untuk belajar dan berprestasi di sekolah, karena motivasi dapat muncul apabila siswa benar-benar merasa cocok dan nyaman dengan tempat belajarnya.

Permasalahan Ketiga terkait sistem zonasi yaitu masih ditemukannya pandangan dari masyarakat umum tentang sekolah unggulan dan nonunggulan. Persepsi masyarakat tentang sekolah unggulan timbul karena beberapa sekolah memiliki kelebihan dibandingkan dengan sekolah lainnya, baik unggul dari segi sarana prasarana pendidikan, sistem pembelajaran, dan kualitas guru yang terampil dan kompeten dalam mengajar siswanya. 

Dari berbagai keunggulan tersebut, sekolah yang dilabeli sebagai sekolah unggulan membuat masyarakat meyakini bahwa sekolah unggulan akan melahirkan lulusan yang berkualitas yang juga selanjutnya memberikan keuntungan-keuntungan seperti mempengaruhi kelanjutan studi di tingkat yang lebih tinggi nantinya. 

Berlakunya kebijakan sistem zonasi ini kemudian membatasi calon siswa untuk dapat diterima di sekolah unggulan yang mereka inginkan sehingga menimbulkan kekhawatiran orang tua sebagai wali calon siswa, apalagi apabila calon siswa mempunyai nilai akademis yang baik. 

Atas dasar pandangan tersebut maka muncul sejumlah praktik kecurangan seperti jual beli kursi, manipulasi KK agar sesuai alamat zona sekolah, dan manipulasi surat pindah tugas agar calon siswa dapat diterima di sekolah yang dinilai unggulan.

Permasalahan keempat terkait sistem zonasi yaitu koordinasi yang dilakukan antar instansi/lembaga terkait masih dirasa belum efektif sehingga kebijakan pendidikan yang berlaku masih belum berkesinambungan. 

Terdapat kebijakan dari Kementrian Pendidikan Tinggi (Kemendikti) yakni memberikan kuota sebanyak 30 persen pada Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yang mengacu pada akreditasi sekolah. SMA akreditasi A memperoleh kuota sebanyak 40 persen dari peserta didik terbaik di sekolahnya. 

SMA akreditasi B memperoleh kuota 25 persen dari peserta didik terbaik di sekolahnya, dan SMA akreditasi C memperoleh kuota 5 persen dari peserta didik terbaik di sekolahnya (Jpnn.com, 2019). Dengan penerapan sistem zonasi ini, orang tua sebagai wali calon siswa semakin berusaha agar anaknya masuk ke sekolah yang dinilai unggulan, karena dengan sekolah unggulan/berakreditasi A memiliki sejumlah manfaat yaitu peluang yang lebih besar untuk dapat melanjutkan studi di perguruan tinggi negeri berdasarkan kasus tersebut.


Kesimpulan 

Berdasarkan sejumlah masalah terkait sistem zonasi PPDB tersebut menunjukkan kebijakan ini masih belum dapat memfasilitasi kebutuhan seluruh calon siswa. Beragam permasalahan dari kebijakan sistem zonasi ini membuat calon siswa baru dihadapkan pada pilihan dan masalah yang sulit. 

Dalam hal kebijakan pendidikan berdasarkan undang-undang, pemerintah dinilai belum mampu memenuhi amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 perihal Sistem Pendidikan Nasional Pasal 11 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (Wahyuni, 2019). 

Faktanya, kebijakan tersebut ditemukan membebani masyarakat dan selanjutnya tidak sesuai dengan tujuan awal dirancangnya kebijakan tersebut, yaitu untuk kesejahteraan warga negara dalam hal pendidikan sehingga kebijakan ini masih harus dikaji kembali dan dikembangkan menjadi lebih baik sesuai dengan tujuan pendidikan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline