Hanya karena organisasi ini punya nama, lantas yang bergabung di dalamnya pun mengemban atribut simbolis dari nama tersebut. Hanya karena organisasi ini dipandang besar, semerta-merta kebesaran tersebut membuat ‘silau’ secara sadar maupun tidak sadar, baik kader, atau orang yang pernah berkecimpung.Sekilas tidak ada yang salah dengan tempat berproses, sebab ia hanyalah wadah. Rupa-rupa organisasi sebenarnya semua sama, yang membedakan adalah budaya, tujuan dan cara memanifestasikan tujuan tersebut lewat aktivitas orang-orang di dalam organisasi tersebut. Ketika organisasi ini ‘pernah’ menjadi persinggahan banyak orang-orang yang (sudah) menjadi tokoh, sepenggal kisahnya masih ada di perbincangan aktivis-aktivis, atau orang awan, atau para intelektual, atau para mahasiswa yang tidak menahu tentang hal yang lebih dalam, baik dalam lingkup positif dan negative torehan-torehan lulusan organisasi. Percayalah, nama-nama besar tersebut sesungguhnya adalah penjara! Penjara karena ia mengurung dan seolah memberi kepercayaan bahwa organisasi tersebut selalu produktif, selalu hebat, dan selalu bisa diandalkan. Penjara karena nyatanya tidak banyak yang dilakukan oleh anggota-anggota organisasi ini di lini kampusnya masing-masing, selain mengungkit masalah-masalah remeh, sepele, dan nama besar tokoh-tokohnya. Untuk apa? Mereka lupa kalau manifestasi organisasi ada di para kader-kader, anggota-anggotanya, yang menjadi trah penerus bagi estafet idealism organisasi tersebut.
Organisasi ini punya taring? Ya, dan hampir banyak pihak memberi banyak penyudutan, baik ini yang sebenarnya terjadi, atau Cuma tuduhan lewat isu-isu. Yang paling tidak mengenakkan, adalah 2 cap public tentang organisasi ini. Yang pertama dicap liberal. Kedua, dicap politis. Cap pertama mungkin melekat hanya pada momen-momen khusus saja, atau setidaknya hanya di wilayah organisasi yang ‘sealiran’. Yang parah adalah pelabelan cap politis. Mengapa dicap politis? Setiap orang yang masuk organisasi ini, akan dilabeli politis, atau berorientasi politis. Padahal tidak semua orang yang di dalam punya ketertarikan terhadap wilayah politis, atau yang sebenarnya justru hanya sedikit saja orang di dalam yang berorientasi politis sebenarnya. Tetapi, public mana peduli pada apa yang terjadi di dalam? Bahwa ketertarikan orang-orang organisasi ini pun banyak mengambil wilayah lain yang non-politis. Imbasnya? Untuk kelompok-kelompok atau perseorangan yang tidak atau kurang menerima keberadaan anggota organisasi ini akan diidentifikasi sebagai orang yang punya kepentingan politis. Gerak-geriknya dicurigai, dipandang sinis. Baik tindakan apapun yang dilakukanya.
Nama besar tidak menjadikan apa-apa. Siapa yang besar? Organisasi atau orang-orangnya? Kebetulan kalau nama organisasi itu besar, hal tersebut adalah implikasi dari reputasinya, atau penilaian kalangan-kalangan terhadap orang-orang di dalamnya. Organisasi besar karena orang-orangnya. Organisasi tidak akan dipandang besar, apalagi berpengaruh, kalau hanya diisi oleh orang biasa-biasa. Yang mengistimewakan organisasi adalah orang-orangnya. Melantunkan kebesaran tokoh-tokoh ibarat tong kosong nyaring bunyinya. Tidak bergema, tidak berdampak, sangat insidental. Apa dampak setelah orang-orang tahu kalau dulu pernah ada tokoh yang pernah mengambil bagian proses. Dalam sebuah siklus, sudah kewajiban organisasi menyediakan ruang tersebut untuk berproses. Karena orang-orang akan silih datang dan pergi. Tidak ada yang bisa dibanggakan kecuali dirinya sendiri. Bukan soal apa yang diperoleh, tetapi apa yang sudah dilakukan, diberikan.
Wajar kalau di kampus mereka, selalu dicap sinis. Bagaimana tidak sinis. Tidak ada signifikasi yang dilakukan orang orang organisasi ini di kampus. Kontraproduktif. Bahkan, sudah tidak banyak yang bisa dilakukan. ke kampus pun tidak ubahnya seperti wahana permainan. Datang dan pergi. Tidak berbekas, tidak menghasilkan, tidak bermanfaat. Anggota-anggota organisasi ini seperti kehilangan arah, atau jangan-jangan sudah kehilangan arah. Yang lebih parah lagi tidak punya arah! Arah saja tidak punya, bagaimana tujuan? Jangan dulu soal tujuan untuk organisasi, tetapi tujuan untuk dirinya sendiri. Untuk apa berkuliah, untuk apa di kampus dan (baru) untuk apa berorganisasi? Wajar kalau penilaian public tidak cukup baik. siapa yang menilai? Harus sadar bahwa penilaian bukan karena pandangan orang dalam tentang dirinya sendiri. Tetapi identitas juga adalah karena penilaian orang lain.
Pengelakan adalah sesuatu yang wajar, tetapi menerimanya sebagai sebuah kritik, adalah hal yang tidak bisa dilakukan banyak orang. Dalam tahun-tahun belakangan. Organisasi ini seolah bebas dari kritik. Tidak soal orang lain, tetapi tentang dirinya sendiri. Bebas dari kritik berarti sudah lama tidak ada kritik. Sudah lama tidak ada kritik tidak berarti anti-kritik. Tetapi keadaan yang menciptakan suatu kondisi dimana tidak mengakomodir ruang untuk kritik. Kritik yang positif tentunya diantara anggota organisasi ini. Mereka (orang dalam) tidak sadar satu sama lain dengan tidak adanya kritik tentang dirinya sendiri, atau tentang organisasi, atau ada yang salah dengan rekanya. Jangankan dulu mengkritik yang besar-besar. Sadar atau tidak sadar, tidak terbangunya budaya kritik adalah sebuah kekeliruan. Keliru karena tidak terbangunya dinamisasi yang baik. kekeliruan pada semua bagian yang terafiliasi dengan organisasi itu mengenai ketidaksadaran dirinya dengan adanya sebuah kritik, atau ketiadaan kritik itu sendiri? Kekeliruan selanjutnya adalah sebuah kesadaran yang menganggap bahwa ekeliruan, kejanggalan atau kesalahan yang berada di sekitarnya tidak disadari sebagai sebuah kekeliruan, yang harus diluruskan dan dicari solusi penyelesaianya. Merasa seolah-olah semuanya berjalan baik-baik saja, tidak ada masalah, apalagi pertentangan. Hanya karena dirinya merasa sudah tahu, kemudian menutup diri dengan pemikiran lain. lebih asyik dengan dunia pemikiranya sendiri. Merasa ideal, padahal belum tentu. Hanya karena merasa sudah tahu banyak, belajar dengan hal-hal baru disekitarnya adalah hal-hal yang tabu. Jangankan tergerak, mau saja tidak. Akhirnya menjadi sebuah paradoks. Saat organisasi itu kian berkembang dengan evolusi dan dinamisasi yang berasal dari dalam dan luar. Organisasi ini justru mengalami perkembangan yang samar, sebuah involusi, atau perkembangan ke dalam. Sebuah perubahan yang justru tidak memajukan, tetapi membuat mundur! Perlahan arah perubahan secara involusi ini mengakibatkan kemunduran-kemunduran signifikan yang mempersempit skema berpikir orang-orang organisasi ini. Kesalahan siapa? Lihat pada dirinya masing-masing. Agaknya merupakan kesalahan besar apabila melemparkanya ke orang lain. sudah pernah lihat dan bercermin? Rasanya akan Nampak bagaimana seharusnya merefleksikan diri.
Ego, persepsi dan kesadaran yang dibangun dan dikonstruksikan kalau orang-orang ini adalah calon petinggi dan orang besar. Dari mana? Dari stigmaisasi yang dibangun oleh atas, pemahaman bahwa yang ideal yang dulu-dulu pernah dilakukan kelak akan memberi pengaruh. Setelah itu tidak ada tindakan. Tidak ada aksi. Sama saja, meski perubahan lahir dari mimpi, tetapi mimpi hanyalah mimpi tanpa tindakan. Dogma-dogma sejenis kesadaran tumpul, yang memang mengurung anggota-anggota organisasi ini ke dalam suatu wilayah mimpi yang tidak realistis. Berpikir bebas dan bergerak maju adalah saran dari penulis bagi masa depan organisasi ini. Sekian. Jumpa di lain waktu. Mari mengkritik masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H