Without music, life would be a mistake
Friedrich Nietzche
Kutipan Nietzche di atas mungkin ada benarnya, bayangkan jika peradaban manusia tidak pernah menemukan musik, bisa jadi hidup tidak lagi menyenangkan dan tanpa warna. Namun bagaimana jika sepanjang hidupnya Nietzche disuguhi musik-musik pop kontemporer yang berisikan ratapan-ratapan cinta, saya pikir mungkin Nietzche akan merevisi kalimatnya sendiri.
Dewasa ini, kawula muda edgy mulai mendengarkan kembali lagu yang mendayu-dayu, seperti Kangen Band, Armada, Ada Band dst yang sebelumnya telah ditempatkan ke dalam daftar hitam anak muda edgy di tahun 2000an, karena mulai dari penampilan personil dan liriknya yang menye-menye dianggap cringe, kamseupay dan tidak merepresentasi anak muda di zamannya (terutama anak muda di kota) yang lebih mengidolakan Rolling Stone, Gun's n Roses, Nirvana, The Sigit, Linkin Park dst.
Di tahun 2000an mereka menganggap musik pop seringkali tidak relevan untuk menggugah selera musik anak muda di zaman itu. Artinya selera musik dalam negeri perlu mencontoh budaya-budaya musik luar, yang dimulai dari kesesuaian penampilan, pemilihan lirik, susunan nada dan distorsi.
Tetapi kemudian ketika menengok musik dalam negeri yang tidak nyambung dengan gaya berpakaian Emo membawakan lagu menye-menye dan mendayu-dayu, barang kali itu menjadi penyebab mengapa anak muda di tahun 2000an lebih menyukai genre punk, rock, hardcore dst.
Namun persoalan mengenai jenis genre musik yang dalam tanda kutip, dianggap lebih keren daripada genre lainnya menjadi fenomena yang menarik untuk dibahas.
Tulisan ini hendak mengulas tentang mengapa musik pop menjadi musik yang nir-maknawi dan dangkal dengan membedah secara singkat beberapa lirik lagunya, serta membahas tentang relasi antara pasar-seniman-penikmat musik agar setidaknya mampu melihat secara objektif apa yang terjadi di balik ratapan kesedihan cinta yang selama ini kita dengar.
Untuk memulai pembahasan barangkali kalian pernah menonton atau setidaknya sepintas melihat scene dalam film 500 Days Summer. Dikisahkan dalam sebuah lift, Tom sedang mendengarkan lagu yang dibawakan oleh The Smiths, berjudul There Is a Light That Never Goes Out dengan menggunakan headset.
Masuklah seorang remaja perempuan bernama Summer ke dalam lift, selang beberapa detik kemudian, secara spontan Summer mengutarakan bahwa dirinya menyukai The Smith, Summer mengatakan:
"I love The Smiths".