Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Bahtiar

https://www.kompasiana.com/ahmadbahtiar0590

Chairil Anwar : Dari "Nisan" hingga "Derai-derai Cemara"

Diperbarui: 1 November 2020   20:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Penyair Indonesia yang paling dikenal adalah Chairil Anwar. Menurut Sapardi Djoko Damono, siapa pun yang pernah duduk di bangku sekolah menengah pasti mengenal karya-karya  pelopor angkatan 45 ini. Penyair yang dijuluki “binatang jalang ini” juga dikenal karena hidupnya yang eksentrik. 

Dalam Puisi dan Prosa Chairil Anwar. Derai-derai Cemara (2000), Chairil berucap pada Hafsah, perempuan yang pernah dinikahinya,  “Tapi kalau umurku ditakdirkan pendek, anak-anak sekolah akan berziarah ke kuburku menabur bunga,”.  Istrinya itu, berasal dari Cicurug, Sukabumi. Mereka bertemu di Karawang, namun,  bercerai saat dua tahun usia perkawinan dengan dikarunia Evawani Allisa  Chairil  Anwar.  

Chairil meninggal  karena mengindap penyakit paru-paru pada usia 26 tahun 9 bulan, padahal ia pernah berkata “aku ingin hidup seribu tahun lagi” (sajak “Aku”). Ia meninggal 28 april 1949 dan  dimakamkan di karet, seperti dikatakannya, “di karet, di karet (daerah y.a.d) sampai juga deru angin” (sajak “ Yang Terampas dan Yang Putus”). 

Hari kematiannya tersebut sempat diperingati  sebagai “Hari Sastra Nasional” sekitar tahun 1950-an sedangkan hari lahirnya, 26 Juli dideklarasikan oleh presiden penyair indonesia, Sutardji Calzoum Bahri dan beberapa penyair lainnya  sebagai “Hari Puisi Indonesia” pada 22 November 2012 di Pekanbaru.

Usia yang singkat untuk seseorang yang dikenal memiliki vitalitas seperti  sajak-sajak, “Aku”,  “Catetan  tahun 1946”, “Kepada Kawan” “Perjanjian dengan Bung Karno”, “Diponegoro”, dan Krawang Bekasi”. Sedangkan usia kepenyairan Chairil jauh lebih singkat. Ia menulis pada  usia dua puluh dua tahun. 

Karya awalnya itu itu  berjudul  “Nisan” yang ciptakan karena kematian neneknya. Sajaknya itu berbunyi,

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutau setinggi itu di atas debu

dan duka maha tuan bertakta.

 Peristiwa kematian tersebut menurut Arief Budiman menjadikan Chairil mencari jawaban-jawaban tentang kematian dan  tujuan hidup  dalam sajak-sajak berikutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline