Pelecehan Sejarah, dari Inkuisisi hingga Pamela Geller
Tepat pada tanggal 2 Rabiul Awal tahun 897 H/2 Januari 1492 M Abu Abdillah Muhammad bin al-Ahmar ash-Shaghir dengan hina keluar dari gereja yang cukup besar di Granada. Ia baru saja membuat keputusan yang mengubah peta sejarah umat Islam hingga saat ini, keputusan untuk memberikan Granada kepada Ferdinand V dan Isabella. Namun begitulah, keputusan ini mau tidak mau harus ia tunaikan.
Ia terus terus berjalan sesekali melihat megahnya istana al-Hambra dan juga kejayaan yang pernah ia kuasai dari sebuah anak bukit yang cukup tinggi. Ia menangis tersedu-sedu hingga jenggotnya basah kuyup. Melihat putranya menangis, Aisyah al-Hurrah, sang bunda, berkata, “Menangislah, kini kau menangis seperti perempuan yang kehilangan, padahal kau tidak mampu menjaga kerajaan sebagaimana laki-laki perkasa.”
Kini bukit tempat Abu Abdillah Muhammad bin al-Ahmar ash-Shaghir melihat terakhir kali Granada menjadi salah satu tempat bersejarah di Spanyol dan ramai dikunjungi orang-orang yang ingin menyaksikan sebuah kerajaan megah yang disia-siakan oleh rajanya. Bukit itu dikenal dengan nama Zafrat al-Arabi al-Akhirah (bukit tangisan terakhir orang Arab) atau Puerto del Suspiro del Moro dalam bahasa Spanyol atau The Last Moor’s Sigh .
Nasib kaum Muslimin pasca runtuhnya Granada sangat memprihatinkan. Mereka mendapat tekanan bertubi-tubi dari pihak Kristen. Umat Islam akan hidup tenang dan damai jika mereka memeluk Kristen. Ada yang bertahan dan melawan ada juga yang tidak. Kejadian ini berujung pada pengusiran umat Islam dari bumi Andalusia.
Berbagai usaha untuk mengkristenkan umat Islam dilakukan dengan berbagai cara baik dengan kekerasan maupun dengan intimidasi. Pemaksaan yang paling terkenal dalam sejarah dalam peristiwa itu adalah pembentukan Dewan Inkuisisi, sebuah lembaga peradilan yang berfungsi memeriksa kaum Muslimin yang mengaku-ngaku beragama Kristen, namun diam-diam masih beragam Islam.
Dewan Inkuisisi tidak hanya memaksa dengan intimidasi, kekerasan acapkali mereka lakukan untuk membuat keimanan umat Islam tercerabut. Kekejian umat Kristiani inilah yang membuat sejarah Islam meratapi peristiwa tersebut. Penyiksaan yang tidak manusiawi kerapkali umat Islam terima. Ratusan nyawa umat muslim hilang dengan sia-sia.
Di era posmodern ini, ada Pamela Geller pendiri, American Freedom Defense Intiative (AFDI) dan Stop Islamization of America, sebuah organisasi yang menentang hadirnya Islam di Amerika serta rutin menghembuskan isu-isu anti Islam, mengadakan pameran “Muhammad Art Exhibit” dan kontes kartun Nabi Muhammad di Kota Garland, Texas Ahad 10 Mei 2015.
Kontes tersebut merupakan respons atas serangan terhadap kantor majalah Charlie Hebdo beberapa bulan sebelumnya. Sejumlah awak redaksi majalah itu tewas ditembak setelah mereka menampilkan kartun Nabi Muhammad. Mantan analis New York Observer ini adalah penentang utama didirikannya masjid di Ground Zero, lokasi bekas dua gedung kembar di World Trade Center (WTC) New York. “Bagiku, itu memancing kemarahan, satu serangan yang sangat serius. Rencana pembangunan masjid itu menunjukkan dialog antarkepercayaan, penghormatan dan pemahaman antaragama, hanya berjalan satu arah dengan supremasi kelompok islamis,” kometarnya kepada New York Times.
Trgedi pameran kartun Nabi Muhammad tersebut tentu merupakan serangkaian misi untuk mengusik umat Islam. Jika Islam terusik, media Barat menjalankan perannya sebagai corong diskriminasi anti Islam dan blow up isu Islam sebagai agama teror. Kenyataan ini memberi kesimpulan, bahwa Islam tidak akan diterima—oleh Barat—sampai kapanpun. Tentunya, sejumlah teror dan diskriminasi anti Islam hingga kekerasan yang diterima kaum Muslim di negara konflik akan terus berlanjut entah sampai kapan. Konflik sejarah dan pemahaman yang kurang terhadap ajaran Islam disinyalir menjadi penyebab utama mengapa islamphobia (kebencian terhadap Islam) begitu merata di Barat.
Islam adalah Kedamaian