Lihat ke Halaman Asli

Kapitalisme Cinta

Diperbarui: 20 Februari 2023   16:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Danu seorang mahasiswa semester akhir di perguruan tinggi negeri di Bandung yang menggantungkan cita-citanya pada prodi seni rupa, prodi yang sudah diincarnya sejak bisa membedakan warna biru, merah, kuning, ungu, dan kelabu serta garis bengkok maupun garis lurus, dan berharap setelah lulus mendapat pekerjaan dengan gaji besar. Anak kedua dari lima bersaudara ini nekat merantau ke Bandung demi cita-cita luhurnya sejak kelas 1 SMP yang sangat ia rindukan. 

Dia ingin menjadi pelukis terkaya dan terkenal sedunia bagai Leonardo Da Vinci, tokoh idolanya. Danu bukan dari keluarga kaya raya, ia dibesarkan di perkampungan kecil di desa Warungpring, Jawa Tengah. Ibu bapanya adalah seorang petani, kakanya guru, dan adik-adiknya masih bersekolah. Bermodalkan sangu cekak, IQ dan SQ yang cukup, ia menantang diri untuk hidup di ibukota Jawa Barat.

Hari ini, Selasa daun-daun masih berselimut embun dan ayam masih mengantukkan paruhnya ke langit, aku mengikuti instruksi SBMPTN mandiri, pagi itu sedang ujan namun yang basah hanya tubuhku yang dibungkus kemeja putih. Ketika membuka ruang ujian tiba-tiba ruangan itu menjelma persawahan seperti disekitar rumahku dan padi yang sudah menguning siap dieksekusi. Enam puluh menit dua puluh satu detik berlalu, aku meninggalkan ruangan sambil menerka-nerka hasil tesku. Sore hari sangat basah, langit mendung namun terselip mega, dan kabut mengepul menjelma wajah Leonardo da Vinci.

Hari yang aku tunggu-tunggu pun tiba, berkunjung ke website LTMPT mencari dengan sabar dan cermat namaku pada kolom Pengumuman Penerimaan Mahasiswa Baru dan tak disangka-sangka namaku berada dipuncak klassmen dan mengantarkanku langsung menjadi mahasiswa resmi di perguruan tinggi negeri itu. "Alhamdulillah!" Sudah aku kemas semua keperluanku selama kuliah, aku izin dan meminta doa serta restu orangtuaku untuk belajar di Bandung. 

Tahun berganti begitu cepat tak terasa akan memasuki semester ke-6. Aku dan Wawan teman satu kostku pergi mencari kedai kopi untuk bersantai setelah berpekan-pekan dibantai tugas, setibanya disana aku melihat menu kopi yang sempat tenar dikampungku, kopi Galing. 

Kopi dari jenis arabika ini bagiku menyimpan filosofis dan kenikmatan khas, mungkin saja akan terasa beda nikmatnya dengan yang dirasakan oleh orang lain. Aku duduk berhadap ke jendela diseberang sana seorang perempuan melambai ke arahku namun tak aku hiraukan, mungkin saja ia hanya memanggil pelayan atau temannya. Kabut mulai merabunkan pandangan, temanku mengajak untuk pulang, diperjalanan aku bertemu dengan perempuan yang tadi melambai ke arahku ternyata dia adalah temannya Wawan dari prodi teknik arsitektur.

"Hi, namaku Ferliyana, kamu bisa panggil aku Ana atau Yana" teduh senyumnya

"Iya, aku Danu teman satu kostnya Wawan" jawabku

"Kamu asli Bandung"? tanya Ana

"Nggak, aku dari Pemalang" masih berjabat tangan

"Ooh, aku pikir kamu asli sini"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline