Beberapa minggu terakhir, tengah ramai perbincangan di media sosial terkait pendidikan yang ada di Indonesia. Pasalnya, banyak dari warganet yang menganggap bahwa kualitas pendidikan di Indonesia semakin menurun. Bukan tanpa alasan, hal tersebut terjadi dikarenakan banyak video-video di media sosial, yang menayangkan anak SMP dan SMA yang diberikan pertanyaan-pertanyaan dasar seperti kepanjangan MPR, nama bapak pendidikan Indonesia, dan perkalian-perkalian dasar mereka tidak dapat menjawab. Anggapan dari warganet tersebut juga didukung oleh data penilaian PISA (Programme for International Student Assessment) oleh OECD (The Organization for Economic Co-operation and Development), yaitu Indonesia menempati peringkat 69 dari 80 negara yang mengikuti penilaian tersebut.
Sejatinya pendidikan adalah kunci utama kemajuan sebuah bangsa, Indonesia emas dapat terjadi jika mempunyai generasi yang emas pula, dan untuk mendapatkan generasi emas, pendidikan yang berkualitas adalah modalnya. Namun, yang terjadi sekarang tidak demikian, kebijakan demi kebijakan terkait pendidikan malah membuat fondasi kemajuan menjadi rapuh. Kebijakan sistem PPDB zonasi hingga penghapusan UN (Ujian Nasional) bukanlah kebijakan yang tepat untuk diterapkan di Indonesia. Kecenderungan untuk meluluskan atau menaikkan siswa yang belum layak atau belum berkompeten juga berkontribusi terhadap penurunan kualitas pendidikan.
Sistem PPDB Zonasi
Sebenarnya sistem Penerimaan Peserta Didik Baru jalur zonasi ini memiliki tujuan yang mulia, yaitu pemerataan akses pendidikan.Sayangnya, tujuan yang mulia ini tidak didukung dengan fasilitas yang mumpuni. Peserta didik dituntut untuk mengikuti aturan, tetapi pemerintah tidak mendukungnya dengan fasilitas untuk mentaati aturan tersebut.
Sebagai contoh, jika seorang anak yang tinggal di wilayah X, anak tersebut ingin melanjutkan pendidikan di SMA, tetapi di wilayah tersebut tidak terdapat SMA dan hanya terdapat SMK. Maka, dengan terpaksa anak tersebut harus melanjutkan pendidikan di tempat yang tidak dia inginkan. Contoh lainnya, sekolah-sekolah yang berada di wilayah Z fasilitasnya minim dan kualitas pengajarannya kurang optimal, namun anak-anak yang sebenarnya ingin bersekolah di sekolah yang fasilitas dan kualitas gurunya bagus harus terpaksa masuk ke sekolah yang ada di desa Z tersebut. Sistem zonasi tidak menyelsaikan permasalah akar tersebut, siswa yang bersekolah dengan kualitas rendah akan semakin tertinggal karena keterbatasan sarana belajar.
Penghapusan UN (Ujian Nasional)
Ujian Nasional menjadi salah satu instrumen kunci untuk menilai dan mengevaluasi jalannya pendidikan.Sebelum dihapuskan, UN menjadi gambaran konkret untuk masyarakat terkait kualitas pendidikan di Indonesia. Masyarakat juga dapat mengidentifikasi ketimpangan kualitas pendidikan antara daerah maju dengan daerah tertinggal.
Dihapuskannya UN juga menurunkan motivasi belajar siswa. UN sebelumnya berfungsi sebagai pendorong semangat belajar karena siswa merasa ada tujuan yang harus dicapai, atau raja terakhir yang harus dikalahkan.Dengan dihapusnya UN, membuat siswa cenderung santai, bahkan tidak serius saat belajar.
AN (Asesmen Nasional) adalah pengganti yang tak atau belum sebanding dengan UN, hal tersebut dikarenakan penerapannya yang jauh dari kata ideal. Kembali ke permasalahan fasilitas yang rendah dan tidak merata, infrastruktur teknologi yang belum merata menyebabkan sekolah yang berada di daerah terutama pelosok kesulitan untuk mengadopsi AN.
Semua Siswa Pasti Naik Kelas dan Lulus?
Permasalah lainnya dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah sekolah-sekolah yang anti dengan yang dinamakan tinggal kelas maupun tidak lulus. Menurut Ferry Irwandi dalam kanal youtubenya, hal tersebut dikarenakan akan mempengaruhi penilaian dari sekolah itu sendiri. Padahal seharusnya, jika seorang siswa belum layak atau belum berkompeten untuk naik kelas ataupun lulus, maka seharusnya siswa tersebut tinggal kelas untuk mendapatkan bimbingan dan pengajaran lebih lanjut.