Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Amiruddin

Aku Menulis Maka Aku Ada

Idul Adha di Edinburgh, United Nations dan Indomie

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Susana Lantai 1 sebelum Lebaran dan sebelum saya dilarang Security foto,

Hari ini idul Adha, tanggal 15 Oktober 2013 versi orang Romawi dan tanggal 10 Zulhijjah 1434 versi Hijriah. Saya kebetulan ada di Kota Edinburgh di Negara Kerajaan Inggris dimana islam hanya sebagian kecil dari total penduduknya. Hari ini di Indonesia adalah hari libur, bahkan kemarin adalah cuti bersama bagi seluruh rakyat indonesia karena hari senin kemarin ketiban sial dijepit oleh dua warna merah di kalender, dia menjadi salah satu kurban idul adha kali ini.

Pada shalat jumat minggu sebelumnya sudah diumumkan oleh Pengurus Mesjid Central bahwa ibadah shalat idul adha dilaksanakan dalam dua shift, shift pertama adalah jam 08.00 dan shift kedua pukul 09.30. Bagi yang tinggal di Indonesia, dua shift shalat eid bukanlah hal yang jamak, tapi karena keterbatasan ruang mesjid serta kurang memungkinkannya jamaah ditampung diluar mesjid karena cuaca mulai dingin disertai angin dan kemungkinan hujan, maka jadilah shalat idul adha dalam dua shift, lengkap dengan shalat dan khutbahnya masing-masing.

Karena shift 1 sangat dingin dan ada undangan berkunjung ke rumah Pak Totok dan Bu Ofita di dekat Mesjid, saya memutuskan untuk mengikuti yang shift 2. Saya bergegas menuju bus stop dekat rumah, hujan membasahi ibukota skotlandia ini, dingin lumayan buat saya disuhu sekitar 10derC, Ketika Bis 31 telah datang, saya naik dengan bismillah, tak tampak ada orang yang mau ke mesjid untuk shalat, tak tampak suasana lebaran kayak Indonesia. Rasanya memang ada yang kurang, saat lebaran adalah saat berkumpul dengan keluarga dan menikmati suasana dan juga makanannya, saya memang tidak selalu berlebaran di kampung, bahkan sejak migrasi ke jakarta sepuluh tahun lalu, saya sudah jarang lebaran idul adha di Sidrap, Sulawesi Selatan, akan tetapi minimal saya berlebaran dengan keluarga dekat, baik bersama istri atau bersama kakak di Bogor, dan dimanapun saya berlebaran di Indonesia, suasananya, bau masakannya dan sensasinya terasa.

Kalau di Kadidi Sidrap saat ini, orang-orang sudah berbondong-bondong ke Mesjid, Pung Imang (Imam mesjid) dan Pung Katte (Marmot) sudah sedari subuh menghidupkan syiar dengan takbir yang berkumandang, para haji jaman dulu berangkat dengan pakaian khas arab, anak-anak berlarian dengan bau baju baru yang masih terasa, sandal baru keluar dari box-nya dan kita berlebaran menuju mesjid disambut suara khas Pak Muis yang mengatur jamaah dan membacakan penyumbang dalam ritme cepat.

Tapi itu di Indonesia, lain lubuk lain belalang lain kampung lain pula lebarannya. Dinegara ini muslim hanya 4,8% berdasarkan sensus tahun 2011. Sebenarnya soal jumlah, ini kabar baik, jumlahnya meningkat dibanding tahun 1961 yang hanya 0,1% dari total populasi dari jumlah mesjidnya seUK sekitar 1500, rasio muslim per mesjid adalah 1900 orang per 1 mesjid (wikipedia).

Karena muslim masih sedikit disini, maka hari Idul Adha bukanlah hari libur nasional, aktifitas berjalan dengan normal seperti biasa, yang ke kantor tetap ke kantor dan yang sekolah kayak saya tetap harus ke sekolah. Kuliah saya jam 2 siang, padahal untuk idul adha kali ini saya sudah mau mengurbankan jam kuliah saya demi Idul Kurban, tapi tak jadi, tak ada kuliah yang bisa dikorbankan dan tak ada alasan untuk tidak hadir kuliah.

Mesjid sudah hampir penuh ketika saya tiba, bagian lantai atas yang biasanya buat akhwat juga sudah hampir penuh, untuk akhwatnya sendiri ditempatkan di lantai ground dekat dengan tempat berwudhu.

[caption id="attachment_935" align="aligncenter" width="474" caption="Susana Lantai 1 sebelum Lebaran dan sebelum saya dilarang Security, "][/caption]

Di Mesjid ini, semua macam warna kulit, warna rambut, warna pupil, jenis rambut, jenis kulit, jenis mata, semua ada. Eropa, Asia, Afrika, Amerika semua ada di Mesjid ini, dan karena itulah khatib dalam khotbahnya berpesan, We Are United Nations, kita ini Persatuan Bangsa-Bangsa rupanya, kita ini PBBlah kata saya, lebaran ini adalah perwujudan berkumpulnya bangsa-bangsa dalam satu kesatuan. Haji di Padang Arafah lebih lengkap lagi jens manusia dan negaranya, itu menjadi bukti bahwa kita ini satu tak peduli ras dan warna kulit. We Are United.

Selesai Khutbah yang singkat, maka saatnya kita serbu rumah bu Ofita (mahasiswa S3 di University of Edinburgh). Saya dan Aulia ketemu di luar mesjid dan menuju ke TKP. Di Flat tersebut telah menunggu Pak Totok (suami bu Ofita) sang tuan rumah. Bu Ofita agak lambat nyampai, terhalang jamaah yang bersalaman dan berpelukan dipintu keluar.

Pak Totok dan keluarga menyiapkan lontong, sambel goreng hati, gado-gado dan es cincau, rasanya Indonesia tak begitu jauh di flat ini, Indonesia serasa hadir bersama luruhnya es cincau dan meresapnya sambel goreng hati diujung lidah. Beberapa orang menyusul setelah, Fajri, Wibi dan Handa sekeluarga, kami menikmati Lebaran di negeri orang sebagai tradisi berkumpul bersama mengeratkan tali silaturahmi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline