Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Ajmal Amali

Bocah Ngapak

Melihat Sisi Gelap Kebebasan Berpendapat di Media Sosial

Diperbarui: 6 Desember 2019   14:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Di era teknologi dan informasi yang serba modern ini, kebebasan berpendapat jauh terasa lebih mudah bebas dengan bantuan social media. Hal ini membuat social media menjadi kebutuhan vital bagi kehidupan manusia karena hampir semua orang memiliki social media. Dengan kemudahan seperti itu, tentu saja orang marak untuk berekspresi, mengemukakan pendapat atau opininya di social media. 

Apalagi kebebasan berpendapat sudah diatur dalam hukum undang-undang dalam pasal 28 E ayat 3 UUD 1945  yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki kebebesan untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Tetapi apakah dengan adanya hukum yang berlaku disbanding dengan kemudahan akses untuk berpendapat di social media dapat terus menciptakan iklim yang positif?

Setiap orang memiliki opini atau pendapat satu sama lain yang tentu saja berbeda. Tak mesti satu orang setuju dengan yang lainnya. Pada dasarnya, manusia memiliki keinginan dalam dirinya untuk mendapat pengakuan dan ingin merasa benar. Melihat hal ini, hak untuk menyatakan pendapat harus dibarengi dengan kewajiban menghargai pendapat orang lain pula. Jika tidak, hal tersebut nantinya akan dapat menimbulkan berbagai permasalahan, baik dari hal kecil maupun ke hal yang lebih besar.

Hal kecil yang dapat menimbulkan masalah dari adanya kebebasan berpendapat yaitu perundungan di dunia maya atau yang saat ini terkenal dengan sebutan cyber bullying. Cyber bullying dapat terjadi karena orang-orang dapat dengan bebas berkomentar di dunia maya tanpa batasan tertentu. Secara tidak sadar komentar atau pendapat yang berikan pun tak disaring lagi apakah itu dapat menyakiti hati seseorang atau tidak. 

Dari hal kecil seperti itulah cyber bullying muncul. Hal kecil tersebut dianggap biasa dengan mengatas namakan kebebasan berpendapat. Padahal seharusnya kebebasan berpendapat tetap harus melihat konteks dan dibarengi kewajiban menghargai pendapat orang lain pula. Dari kasus-kasus seperti itu, bisa dilihat maraknya korban-korban cyber bullying yang berujung dengan depresi dan pada akhirnya bunuh diri.

Selain cyber bullying, sisi gelap yang dapat dilihat dari adanya kebebasan berpendapat ialah hoax yang sering kali bermunculan dimana-mana. Kita sering kali mendapat berita hoax entah dari siaran pesan social media maupun media surat kabar online sekalipun. Hal tersebut juga kerap menimbulkan masalah. Sudah banyak kasus penyebaran hoax yang berujung pidana.

Kita secara sadar tidak sadar sebetulnya banyak melihat sisi gelap dari kebebasan berpendapat di social media. Bagaimana social media seperti dua sisi mata pisau. Dapat memudahkan kita mendapatkan informasi tetapi juga kerap menimbulkan masalah. Daari hal yang kecil menjadi hal serius.

Di Indonesia kebebasan berpendapat di media sosial masih menjadi hal yang membingungkan meskipun sudah ada hukum yang mengatur. Ditambah lagi hukum baru yang dibuat yaitu UU ITE yang mengatur penggunaan internet. Tetapi tetap saja banyak orang menghiraukannya. Maka dari itu kebebasan berpendapat ini harusnya lebih diperhatikan lagi oleh setiap individu, kita bisa bebas, tetapi harus ingat kita tetap terikat dengan hukum yang berlaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline