Warganet sempat dihebohkan dengan pernyataan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita keinginanya memasukan kerupuk menjadi salah satu daftar barang barter dengan pesawat tempur Sukhoi. Pernyataan itu sontak memicu reaksi beragam dari warganet. Pasalnya, kerupuk adalah makan sehari-hari yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan rakyat Indonesia dan terkesan sepele, bagaimana mungkin ditukar sama pesawat tempur canggih dari Rusia itu. Kalo kita hitung-hitung angkanya mungkin akan seperti ini:
"sebuah pesawat tempur buatan Rusia itu seharga 51,8 juta USD 51,8 juta USD itu sekitar Rp 691 miliar asumsikan harga kerupuk sebungkus isi 30 biji Rp 10 ribu pesawat Sukhoi dengan harga Rp 691 miliar itu sama dengan 70 juta bungkus kerupuk Apabila sebungkus kerupuk isinya 30 biji, maka ada lebih dari 2 miliar kerupuk yang didapatkan" Gilaaa! 2 miliar kerupuk akan diboyong rusia.
Nampaknya, rencana pemerintah soal kerupuk ini hanya candaan, candaan untuk memancing perhatian masyarakat agar menyoroti kebijakan pemerintah dalam pembelian alutsista (Sukhoi). Kerupuk adalah umpan pemerintah supaya masyarakat memainkan peran pengawasan. Pengadaan alutsista Sukhoi ini sempat diduga mengandung kasus korupsi dari berbagai Institusi seperti DPR dan Imparsial, KPK juga telah melakukan penyidikan serius soal potensi Korupsi Pengadaan Sukhoi. Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin menyatakan alutsista Sukhoi itu rentan markup yang dapat merugikan negara, sebab transaksi yang dilakukan tidak secara langsung antara Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dengan produsen Sukhoi, Rosoboron Export.
Melainkan melalui broker (calo) sehingga pembelian Sukhoi rentan markup. Padahal di sisi lain, mengganti armada tempur TNI yang sudah renta adalah keniscayaan yang harus dipenuhi,sehingga mau tidak mau mesti dilakukan. Melalui Menhan Ryamizard Ryacudu kecemasan markup broker itu dipatahkan, Menhan memastikan transaksi Sukhoi tidak melalu broker, juga memastikan Indonesia memperoleh kerjasama imbal-dagang yang menguntungkan Indonesia dan menaikkan nilai ekspor Indonesia ke Rusia.
Berpindah sedikit, coba kita tengok pada nasib pengadaan alutsista yang lain, Helikopter AW 101. Helikopter AW 101 pengadaannya juga sempat menjadi polemik yang cukup kisruh, Helikopter itu dianggap tiba-tiba saja mendarat di Halim tanpa jelas juntrungannya oleh Panglima TNI. Pengadaan Helikopter itu dinilai berpotensi tindak korupsi oleh KPK, meski DPR menilai pengadaan Helikopter AW 101 itu telah sesuai prosedur. Nampaknya demi mengurai kekisruhan pemerintah mesti memainkan perannya kembali, sebagaimana yang mereka lakukan pada Sukhoi. Kerena tujuan pengadaan Helikopter pun tak ubahnya rencana kedatangan Sukhoi yaitu demi menjaga kekuatan tempur prajurit TNI tetap seimbang. Helikopter AW 101 bisa memainkan peran ganda, sebagai Helikopter tempur atau Cargo yang bertugas memberikan bantuan logistik.
Logika pengadaan Sukhoi semestinya berlaku juga pada pengadaan Helikopter AW 101. Sukhoi juga sempat dibidik KPK karena dugaan korupsi berupa Mark Up. Tapi setelah Menhan putuskan beli Sukhoi tanpa broker, kasusnya case closed. KPK tak lagi mempersoalkan Korupsi Pengadaan Sukhoi. Pembelian Sukhoi pun tetap berjalan. Jika kita telisik lebih jauh, putusan pemerintah melakukan pembelian pesawat tempur Sukhoi maupun helikopter AW 101, sudah pasti karena kualitas produk dan spesifikasi teknis kedua produk tersebut adalah paling sesuai dengan kebutuhan TNI dalam mengamankan dan mempertahankan kedaulatan NKRI. Jadi korupsi atau markup terhadap suatu produk, tidak otomatis menjadikan produk itu tak layak beli atau membatalkan pembeliannya. Korupsi kan merupakan tindakan oknum mencari peluang keuntungan secara ilegal dari transaksi (meski terkadang dalam hal ini jual beli barang yang berkualitas dan segmented market memang dibutuhkan broker) dan tindakan tersebut tak akan mengurangi kualitas barang sedikitpun.
Semestinya sebagaimana kasus Sukhoi berjalan, kasus hukumnya silakan lanjutkan, pembeliannya juga akan tetap berlanjut. Produk Pesawat atau Helikopter kan benda mati. Dia tidak bisa korupsi Oknumnya yang korupsi tangkap saja, tapi memberhentikan transaksi pembelian kebutuhan akan barang tentu tidak benar, salah kalau otomatis simpulkan "Karena Di Korupsi Maka Batal Beli dan Ganti Merk". Tapi sayangnya, pemerintah belum bergeming, dan menunjukan sikap bagaimana nasib kelanjutan pengadaan Helikopter AW 101. Atau pemerintah masih bingung mencari hal apa yang ingin dia tukarnya dengan Helikopter AW 101? Agaknya Presiden Jokowi memang sedang bingung dan bertanya-tanya, Helikopter dituker dengan apa ayooo? Dibantu yaa....
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H