Aspal. Asli tapi palsu. Itulah tema menarik dari beberapa berita di sosial media saat ini. Bukan soal acara show di Trans 7. Melainkan Ijazah palsu yang kemungkinan besar digunakan sebagian pejabat republik ini. Tidak tangung-tangung, bukan hanya gelar Sarjana, Magister dan Doktor tapi juga gelar mentereng setara luar negeri, P.hD. (Philosophiae Doctor) yang diperjual belikan.
Gelar di Indonesia memang memiliki nilai prestise. Dengan gelar, status sosial seseorang dianggap lebih tinggi dari mereka yang tidak punya gelar. Hal ini agaknya sudah terbentuk sejak budaya patriarki dahulu kala. Cliford Gerzt menyebut dalam masyarakat jawa––dalam hubungannnya dengan agama––terdapat kelas-kelas sosial. Priyai atau kelas bangsawan, Santri atau kelas Cendekia, dan Abangan kelas orang tidak terdidik atau masyarakat akar rumput.
Klasifikasi sosial oleh Gerzt tersebut di atas sudah banyak di kritik. Baik oleh sejarawan seperti Taufik Abdullah dan sebagainya. Namun setidaknya, Gerzt sudah memberikan dasar bahwa kelas-kelas sosial itu benar-benar ada. Hal ini dapat juga dilihat pada beberapa kasta yang ada di Bali. Brahmana atau kasta untuk kaum pendeta, Satria atau prajurit (cendekia) dan bangsawan, wesias atau pedagang dan sudra atau petani.
Dari beberapa klasifikasi kelas sosial di atas menunjukkan bahwa kaum terdidik bukanlah kelas sosial terbawah, melainkan menengah atau bahkan keatas. Hal inilah yang agaknya mendasari mengapa orang-orang mengejar gelar dengan sedemikian rupa sampai kadang harus menghalalkan segala cara. Ingin dilihat terpandang sebagai kaum terdidik atau demi kemudahan akses-akses yang lain dalam kehidupan.
Faktor lain yang menjadi pemicu gelar begitu penting di Indonesia adalah soal ekonomi tentunya. Mencari kerja harus ada ijazah. Ingin menjadi pejabat harus ada ijazah. Menjadi guru, menjadi dosen bahkan menjadi office boy dan security sekarang harus ada ijazah. Minimal ijazah SLTA. Ijazah menjadi prasyarat utama jika ingin memiliki posisi strategis di pemerintahan maupun swasta di negeri ini.
Begitu pentingnya Ijazah maka proses mendapatkannya pun harus melalui lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan bertugas memberikan pelatihan-pelatihan, apakah dalam kategori Transfer Of Knowledge, Transfer Of Moral, maupun transfer pengalaman yang akan bermanfaat buat peserta didik dalam menghadapi kehidupan nanti. Ijazah sebagai bukti (licence) bahwa seseorang sudah melewati tahap-tahap pendidikan dimaksud dan dapat dijadikan sebagai pertimbangan, ketika kelak memasuki dunia kerja.
Ketika Ijazah sudah dapat diperjual belikan, tanpa melalui proses pendidikan yang baik maka pihak yang sangat dirugikan tentunya adalah institusi pendidikan. Mereka yang harus kuliyah, mengikuti sistem kredit semester, mengumpulkan tugas-tugas, bertemu dosen dan lainnya harus kalah dengan mereka yang bergelar Doktor tetapi hanya cukup dengan membeli gelar tersebut. Lembaga pendidikan akan lebih tercoreng lagi apabila kapabilitas dari mereka pembeli gelar (SI, S2, S3) tidak sesuai dengan gelar yang disandangnya, atau bahkan sebaliknya, melakukan tindakan-tindakan amoral yang bertentangan dengan budaya bangsa.
Perlu Perubahan Paradigma
Paradigma atau gaya berpikir masyarakat tentang pentingnya pendidikan mestinya harus berubah. Kecakapan seseorang tidak harus dilihat dari gelar yang mentereng melainkan pada kompetensi dan kapabilitas yang dimiliki. Masyarakat mestinya tidak terjebak kepada gelar dan prestise melainkan lebih kepada substansi. Lebih mendahulukan kemampuan, moral dan nilai-nilai kebaikan daripada yang dibalik itu, gelar dan sejenisnya.
Selanjutnya, perlu juga ditanamkan kepada peserta didik, mahasiswa, pelajar bahwa pendidikan itu tidak hanya sekedar mencari gelar dan prestise. Tetapi pendidikan adalah untuk menuntut ilmu, penguasaan pengetahuan dan untuk mengawal peradaban sebuah bangsa menjadi lebih baik. Sekalipun dengan pendidikan itu tidak mendapatkan pekerjaan yang diharapkan, minimal pendidikan telah berhasil mencerahkan, memberikan pemahaman dan menjadikan manusia berbeda dengan mahluk lainya karena pengetahuan dengan akalnya.
Sikap-sikap pragmatis dan materialis haruslah diberantas melalui pendidikan. Sikap pragmatis tersebut seperti menginginkan gelar tanpa kuliyah, ingin bekerja yang baik tanpa memiliki kompetensi, mengingingkan jabatan yang tinggi bukan dengan prestasi dan kemampuan melainkan karena “koprolisasi” dan sikap-sikap pragmatis lainnya. Sikap demikian, yang menjadikan seseorang cenderung melakukan kecurangan, menghalalkan segala cara demi keinginannya terpenuhi.
Kasus gelar dan Ijazah palsu kadang akan menemukan momentumnya di arena-arena politik. Demi menguatkan prestise, seseorang seketika bisa bergelar Master dan Doktor bahkan Profesor. Masih ingatkah dengan kasus pemilu 2014 kemarin? Seorang Raja Dangdut yang sering dijuluki satria bergitar, tanpa melalui jenjang pendidikan dan lainnya, tiba-tiba muncul dalam publik space dengan gelar Prosesor. Gelar tertinggi dalam dunia akademik karena keprofesionalannya.
Menyikapi maraknya ijazah dan gelar palsu, pemerintah, dalam hal ini Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, harus lebih ketat lagi dalam mengawasi lembaga-lembaga pendidikan yang menyalurkan jasa penjualan Ijazah. Tidak cukup hanya disitu, praktik-praktik jual beli nilai di Perguruan Tinggi juga harus dihilangkan jika ingin mengembalikan jati diri lembaga pendidikan tinggi sebagai pusat keilmuan, penelitian dan pengabdian ilmiah.
Akhirnya, marilah disimak perkataan dari tokoh Robert G. Ingersoll berikut “It is a thousand times better to have common sense without education than to have education without common sense”. Artinya, lebih baik ribuan kali masuk akal tanpa pendidikan, dari pada pendidikan tanpa masuk akal. Bukankah lebih baik gelar SI (Sarjana) yang diperoleh dengan cara benar, dari pada Doktor (Strata III) yang diperoleh dengan membeli. Salam kebangkitan pendidikan Indonesia. Wallahu ‘Alam Bishowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H