Lihat ke Halaman Asli

Gelar Doktor untuk Penyandang Difabel

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14058465681556189612

Istilah “difabel” merupakan akronim dari ungkapan bahasa inggris “different abilty people”(manusia dengan kemampuan berbeda). Istilah ini digunakan untuk menyebut mereka yang mengalami kekurangan fisik berupa kecacatan. Karena istilah “cacat” selama ini dimaknai sebagai sesuatu yang negatif, maka digunakan istilah yang tepat untuk mengganti kata tersebut dengan kata yang sesuai, seperti kata difabel atau disabilitas (dalam bahasa Indonesia).

Menggunakan paradigma difabel, mereka yang cacat tidak lagi dipandang sebagai orang yang menyandang penyakit atau kekurangan, melainkan sebagai manusia yang berhak mendapatkan perlakuan yang sama tanpa diskriminatif. Hanya saja, perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan cara bertindak antara manusia normal dan yang difabel. Itulah sebabnya digunakan kata difabel atau different ability yang bermakna berbeda potensi. Maksudnya adalah jika orang normal dapat melakukan pekerjaan dengan kondisi fisik yang baik maka sesungguhnya orang difabel pun dapat melakukan hal yang sama, namun dengan cara yang berbeda sesuai dengan kondisi fisiknya.

Pada hari sabtu, tanggal 20 Juli 2014 Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta baru saja menelorkan seorang Doktor dalam bidang Studi ke-Islaman yang menyandang status difabel (tunanetra). Gelar Doktor bagi mereka yang difabel seperti ini sangat jarang ditemui. Bahkan, berdasarkan informasi yang ada, di Yogyakarta Doktor bagi kaum difabel tersebut baru satu orang yang dapat meraihnya. Hal ini menandakan betapa minimnya aksesbilitas yang diberikan bagi mereka kaum difabel untuk meraih pendidikan.

Jika dilacak landasan normatifnya, perlakuan yang semestinya terhadap kaum difabel sejatinya sudah ada di dalam al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Diceritakan oleh al-Qur’an, datang seorang laki-laki tua tunanetra yang bernama ummi maktum kepada Nabi Muhammad saw. untuk menanyakan sesuatu tentang agama. Karena sedang melayani para bangsawan yang datang, Nabi memalingkan wajahnya dari lelaki tua tersebut yang kemudian atas perlakuan tersebut nabi mendapat “teguran” langsung dari Tuhan.

Difahami bahwa tafsir mengenai ayat diatas sangat beragam. Ada yang mengatakan bahwa nabi tidak memalingkan mukanya karena seorang nabi adalah manusia yang terlepas dari kesalahan (ma’sum). Jadi, merupakan hal yang “tidak mungkin” nabi untuk melakukan kesalahan. Terlepas dari perbedaan tafsir tersebut, pesan moral yang dapat diambil dari kisah al-Qur’an di atas adalah larangan untuk membedakan perlakuan terhadap seseorang hanya karena perbedaan fisik dan status sosialnya.

Refleksi Terhadap Dunia Pendidikan Kita

Pendidikan di Indonesia pada umumnya masih sangat diskriminatif. Perlakuan yang berbeda yang disebabkan karena kekurangan fisik dan kelas-kelas sosial masih acap kali terjadi. Sangat mudah dijumpai di Indonesia sekolah-sekolah yang hanya dihuni oleh anak-anak dari kelas ekonomi menengah ke atas, dan sekolah-sekolah yang hanya dihuni anak-anak ekonomi kelas bawah. Lebih parah lagi bahwa pembedaan tersebut telah memasuki sekolah-sekolah negeri yang notabene berada di bawah payung pemerintah. Sebut saja sekolah-sekolah unggulan−biasanya sekolah-sekolah utama−seperti SMP 1, SMA 1, SMK 1, dan MA 1 yang hanya dinikmati mereka anak-anak kaum berada, sementara sekolah-sekolah yang akhir-akhir seperti SMP kesekian, SMA kesekian, dinikmati mereka yang berasal dari ekonomi rendah dengan kualitas sekolah yang rendah. Jika problem pendidikan yang demikian belum terselesaikan, maka sejatinya pemerintah telah gagal dalam memberikan pemerataan pendidikan.

Selain perbedaan kelas sosial yang masih kerap terjadi, perbedaan fisik peserta didik (khususnya bagi kaum difabel) sepertinya belum banyak disentuh. Dapat dilihat berapa banyak sekolah di Indonesia yang telah memberikan aksesbilitas berupa bangunan fisik yang ramah bagi kaum difabel. Ataukah memang seharusnya, mereka kaum difabel karena perbedaan fisik yang dimiliki, kemudian harus berada dalam ruang yang berbeda dengan anak-anak normal yang dapat membawa mereka pada perasaan minder dan tersubordinasi?

Masih banyak hal yang harus diperbaiki dalam sistem pendidikan kita ketika hendak menggagas pendidikan inklusi. Merubah mindset masyarakat bahwa sejatinya kaum difabel dapat belajar bersama dengan mereka yang normal adalah tugas utama yang harus dilakukan. Selama ini, banyak yang memandang mereka yang difabel sebagai orang yang harus diasingkan karena mengganggu penglihatan. Pandang-pandangan seperti ini yang seharusnya mesti dirubah terlebih dahulu.

Oleh sebab itu, lahirnya Doktor dari UIN Sunan Kalijaga yang juga menyandang difabel patut diberikan apresiasi. Apresiasi bisa diberikan bagi lembaga yang telah menerapkan pendidikan inklusi bagi semua kalangan maupun apresiasi bagi Doktor yang difabel atas kegigihan usaha dalam menempuh cita-cita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline