Frasa 'post-truth' pertama kali dipopulerkan tahun 1992 oleh Steve Tesich dalam tulisan berjudul The Government of Lies. Dalam artikel yang dipublish di majalah The Nation tersebut, Tesich menulis bahwa, "Kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan ingin hidup di dunia post truth."
Kondisi dunia saat ini sering disebut sebagai 'era post-truth', yaitu zaman di mana orang lebih percaya pada perasaan dan keyakinan pribadi daripada fakta yang objektif. Ini terjadi karena media sosial memungkinkan informasi yang salah menyebar dengan cepat. Banyak orang lebih memilih cerita yang sesuai dengan pandangan mereka, yang menyebabkan perpecahan dan kurangnya kepercayaan pada sumber informasi yang resmi.
Dampak dari era ini sangat besar, terutama bagi demokrasi dan diskusi publik, karena bisa mengganggu cara orang berdiskusi dan mengambil keputusan. Dengan begitu, penting untuk lebih kritis dan teliti dalam mencari informasi.
Lalu apa hubungannya post-truth dengan fitnah Dajjal? Dalam konteks kepercayaan dan eskatologi, Dajjal (Islam) atau Anti Kristus (Kristen) atau Messiah Palsu (Yahudi) sering kali dianggap sebagai sosok yang akan muncul menjelang akhir zaman. Banyak yang percaya bahwa ia akan membawa kebohongan dan penipuan, serta menguji iman manusia.
Hubungan antara era post-truth dan fitnah Dajjal bisa dilihat dari cara keduanya beroperasi: keduanya menyebarkan kebingungan dan mengaburkan kebenaran. Dalam era post-truth, informasi yang tidak akurat atau menyesatkan bisa dengan mudah menyebar dan memengaruhi pandangan masyarakat, mirip dengan cara Dajjal dianggap akan memperdaya orang dengan kebohongan.
Dajjal memiliki kemampuan untuk menipu banyak orang dengan kebohongan. Era post-truth juga dipenuhi dengan berita palsu dan informasi menyesatkan yang dapat mempengaruhi banyak orang. Dajjal merupakan ujian bagi umat Islam, menguji seberapa kuat iman mereka di tengah kebohongan. Demikian pula, era post-truth menguji keimanan dan komitmen kita terhadap kebenaran. Seperti Dajjal yang akan menciptakan kerusuhan dan konflik, era post-truth juga mengarah pada polarisasi masyarakat, di mana masing-masing pihak saling menuduh dan tidak mau mendengarkan satu sama lain.
Secara umum, baik post-truth maupun Dajjal mencerminkan tantangan bagi manusia dalam membedakan antara kebenaran dan kebohongan, serta menjaga keimanan dan integritas di tengah banyaknya informasi yang menyesatkan.
Era post-truth memiliki tiga ciri, yaitu pertama, dominasi emosi. Opini publik lebih dipengaruhi oleh emosi daripada argumen rasional. Kedua, berita palsu atau hoax. Penyebaran informasi yang tidak akurat menjadi lebih umum, sering kali dengan tujuan untuk memanipulasi. Dan ketiga, polarisasi sosial. Masyarakat semakin terpecah menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan, dengan masing-masing mempertahankan pandangan mereka tanpa mempertimbangkan fakta.
Dalam menghadapi tantangan yang dihadapi di era post-truth, umat Islam diajarkan untuk setidaknya melakukan tiga hal. Pertama, memperkuat iman dan pengetahuan agama. Ini termasuk mempelajari Al-Qur'an. Karena Al-Qur'an mengandung petunjuk yang jelas tentang kebenaran dan keadilan, serta mengajak kita untuk selalu mencari ilmu. Juga termasuk kritis terhadap informasi. Umat perlu mengembangkan sikap kritis terhadap informasi yang diterima dan selalu memverifikasi fakta sebelum menyebarkannya. "Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik dengan membawa berita, maka periksalah dahulu dengan teliti, agar kalian tidak menuduh suatu kaum dengan kebodohan, lalu kalian menyesal akibat perbuatan yang telah kalian lakukan." (QS. Al-Hujurat ayat 6).
Kedua, di tengah kebohongan dan fitnah, menjaga akhlak dan etika adalah hal yang sangat penting. "Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak." (HR. Al-Baihaqi). Umat Islam diajarkan untuk berbicara kebenaran dan menjauhi fitnah. "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau lebih baik diam." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).