Hujan sore itu turun deras, mengubah jalanan kota menjadi lautan air. Hakim, pulang kerja dengan motor tua yang sudah setia menemaninya bertahun-tahun, merasakan betapa dinginnya angin menyentuh kulitnya. Dia menggenggam setang motor, berusaha melewati genangan yang semakin dalam. Tiba-tiba, mesin motornya mengeluarkan suara bergetar, lalu mati. Hakim menendang tanah dengan frustrasi.
"Bagaimana bisa pas hujan begini?" gerutunya, menatap langit yang kelam. Dia merasa semua kesal dan penat setelah seharian bekerja menumpuk.
Saat dia duduk di pinggir jalan, merenungkan langkah selanjutnya, suara tawa anak-anak menyita perhatiannya. Di tengah hujan, sekelompok anak kecil berlarian, melompat-lompat dengan sukacita, menyentuh air yang menggenang. Salah satu dari mereka, dengan rambut keriting yang basah, menghampirinya.
"Bang, mau ikut mandi hujan?" tanya anak itu dengan ceria. "Ayo, seru!"
Hakim memandangnya, tertegun. Dia mengenali wajah itu---Mono, teman masa kecilnya. "Mono? Kamu...?"
"Ya, aku Mono!" jawabnya, penuh semangat. "Lihat yang lain, mereka juga ada!"
Hakim menatap sekeliling dan mendapati wajah-wajah familiar. Mereka semua adalah teman-teman masa kecilnya. Senyum mereka mengingatkan Hakim pada kenangan indah yang telah lama dia lupakan. Namun, di tengah keraguan, dia bertanya, "Tapi, bagaimana bisa kalian ada di sini? Ini tidak mungkin."
"Kenangan tidak pernah hilang, Kim," Mono menjawab sambil melompat di genangan air. "Kami selalu ada di sini, menunggu kamu."
Hakim merasa otaknya dipenuhi dengan kebingungan. Apakah ini ilusi? Ataukah dia hanya lelah dan mengantuk? Dia menatap mereka lebih dalam, melihat kilau kegembiraan di mata mereka. Dalam sekejap, segala rasa kesal, penat, dan beban hidupnya mulai menguap.
"Yuk, ikut!" Mono menyeret tangan Hakim, menariknya ke tengah genangan. Hakim terperangah, tapi tanpa pikir panjang, dia merasakan dorongan dari dalam dirinya untuk ikut. Dia tak lagi ingin menolak.