Di tengah hingar-bingar dunia musik, Prisca melangkah dengan anggun. Suaranya yang merdu mampu memikat hati siapa pun yang mendengarnya.
Namun, di balik kesuksesannya, ada satu hal yang menggerogoti: ketidakmampuannya untuk bersuara saat melihat kezaliman. Ia sering kali menyaksikan ketidakadilan, tetapi lidahnya seolah terikat oleh rasa takut.
Di belakang panggung, Prisca mendengar manajernya merendahkan seorang karyawan wanita karena penampilannya.
Dia tahu itu salah dan ingin berbicara, tetapi perasaan khawatir akan dampaknya pada kariernya membuatnya tetap bungkam, hanya bisa berdiam diri dan merasa bersalah.
Ketika Prisca menghadiri sebuah acara sosial dan melihat sekelompok tunawisma di depan pintu, ia merasa tergerak untuk berbuat sesuatu.
Namun, melihat banyak orang yang acuh tak acuh membuatnya merasa seolah suaranya tidak berarti, sehingga ia hanya berjalan pergi tanpa berkata apa-apa.
Suatu malam, saat Prisca mendengar teriakan dari rumah sebelah, di mana seorang wanita tampak berjuang melawan suaminya yang kasar, ia merasa panik.
Meski ingin memanggil bantuan, ia merasa takut dan ragu, akhirnya hanya bisa berdoa dalam hati tanpa melakukan tindakan.
Hari itu, di sebuah panggung megah, Prisca bersiap untuk konsernya yang paling dinanti. Ribuan penonton hadir, semua menantikan suaranya yang luar biasa. Di belakang panggung, jantungnya berdebar kencang.
Namun, saat lampu sorot menyala dan wajah-wajah penuh harap menanti, tiba-tiba suara Prisca lenyap. Ia terdiam, mulutnya terbuka, tetapi tidak ada nada yang keluar. Kejadian aneh ini membuatnya panik.