Lihat ke Halaman Asli

Sore di Stasiun Kereta

Diperbarui: 28 September 2024   17:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

freepik.com

Setiap sore, di stasiun kereta yang ramai, ada sosok tua yang selalu duduk di bangku kayu dekat peron. Hani, nenek berkerudung putih, menatap jauh ke arah rel kereta, seolah menunggu sesuatu yang pasti. Banyak orang yang melewati, memandangnya dengan rasa penasaran. Terkadang, ada yang berani menghampiri, menanyakan alasannya.

Hani hanya tersenyum lembut dan menjawab, "Saya menunggu suami saya. Dia pergi 30 tahun lalu untuk bekerja, dan berjanji akan pulang seminggu lagi. Sejak itu, tak pernah ada kabar."

Mendengar jawaban itu, orang-orang biasanya terdiam. Raut wajah mereka campur aduk; ada rasa iba, takjub, dan bahkan skeptis. Namun, Hani tak pernah marah. Bagi Hani, menunggu adalah bentuk cinta yang tulus, meskipun waktu telah mengikis harapannya.

Sebelum suaminya pergi ke luar kota, hubungan mereka adalah kisah cinta yang penuh keindahan dan kehangatan. Mereka sering menghabiskan waktu di kebun kecil di belakang rumah, berbagi tawa sambil menanam bunga-bunga yang Hani cintai. Rizki, dengan senyum menawannya, sering membisikkan kata-kata cinta, membuat Hani merasa seperti satu-satunya wanita di dunia.

Pada sore yang cerah, 30 tahun lalu, mereka berjalan berdua menuju stasiun kereta, tangan bergandeng erat. Rizki selalu membuat Hani merasa istimewa, membawakan bunga setiap kali mereka bertemu. "Aku akan pulang dalam seminggu, sayang," ucap Rizki saat mereka berpisah, matanya penuh harapan. "Tunggu aku di sini, sore di stasiun, dan kita akan melanjutkan cerita kita."

Hani mengangguk dengan penuh keyakinan, menyimpan janji itu dalam hati. Setiap momen bersama terasa berharga, dan dalam pelukan hangatnya, Hani merasakan cinta yang abadi. Janji Rizki menjadi bintang penuntun dalam hidupnya, meski saat itu mereka tak tahu betapa lamanya waktu akan terentang.

Sejak itu, setiap hari, Hani membawa seikat bunga segar yang ia petik dari kebun kecil di belakang rumah. Ia mengatur bunga-bunga itu dalam vas kecil, simbol harapan dan ingatan yang tak pernah pudar. "Dia suka bunga ini," ucap Hani kepada siapa pun yang mau mendengar, "Waktu itu, dia bilang, 'Hani, setiap kali kau melihat bunga ini, ingatlah aku.'"

Musim demi musim berlalu, dan Hani tetap setia menunggu. Dia mengenakan gaun sederhana yang mulai pudar, rambutnya pun memutih, tetapi hatinya tetap berapi-api. Setiap kereta yang tiba dan berangkat adalah kesempatan baru, meski sudah bertahun-tahun ia tahu bahwa harapan itu mungkin hanya ilusi.

Pada suatu sore yang mendung, seorang pemuda mendekatinya. "Nenek, apa tidak pernah merasa lelah menunggu?" tanyanya, suara penuh rasa ingin tahu.

Hani menoleh, matanya yang berkilau seolah menantang. "Kelelahan bukanlah pilihan bagi cinta yang sejati. Janji itu seperti bintang; meski jauh, kita harus percaya bahwa ia masih bersinar."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline