Malam itu, toko mainan mulai sunyi. Hanya terdengar bunyi jarum jam yang berputar pelan di dinding. Ola duduk diam, menatap keluar jendela toko yang berembun. Setiap kali seseorang melewati toko, dia merasakan sesuatu yang aneh, sebuah perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tetapi lebih seperti keinginan terpendam, sesuatu yang selama ini terkunci rapat di dalam dadanya.
Hari-harinya monoton, terperangkap di ruang kecil itu. Setiap kali orang baru datang, Ola memperhatikan mereka dengan penuh harap, membayangkan kehidupan yang mereka jalani, kebebasan yang mereka miliki untuk memilih jalan mereka sendiri. Seorang pengacara membela klien, seorang dokter menyembuhkan pasien, seorang penyanyi memberikan hiburan untuk pendengar. Semua itu sangat menggiurkan di bayangannya.
Ola mulai merasakan sesuatu tumbuh di dalam dirinya, sebuah keinginan yang kuat. Dia ingin menjadi lebih dari sekadar boneka yang duduk diam, dipindahkan dan ditata sebaik mungkin, dipoles lagi jika terdapat sedikitpun kekurangan. Dia ingin menjadi seperti mereka. Mampu berbicara, mampu memilih, dan lebih dari itu, mampu menentukan masa depannya sendiri.
Malam-malam selanjutnya, Ola mulai bermimpi. Mimpi-mimpi di mana dia berlari bebas, berbicara, dan memilih jalannya sendiri. Tapi ketika pagi datang, dia kembali terdiam. Dunia di luar begitu jauh, meski terlihat jelas di balik kaca toko.
Waktu terus berjalan, dan semakin lama, Ola semakin terabaikan. Gaunnya yang dulu putih bersih sekarang mulai kecokelatan. Rambutnya yang dulu tersisir rapi kini kusut. Sang pemilik toko lebih mementingkan boneka yang baru sampai. Setiap kali seseorang melewati etalase toko, pandangan mereka tidak lagi penuh kekaguman. Sebaliknya, ada rasa jijik dan cibiran yang mereka lontarkan tanpa ragu.
Malam itu, ketika toko mulai sepi dan lampu-lampu remang menerangi rak-rak, Ola duduk dalam keheningan yang biasa. Di depannya, sebuah televisi kecil yang biasanya memutar iklan mainan kini menayangkan pertunjukan tari. Para penari di layar bergerak anggun, berputar dan melompat dengan kebebasan yang terlihat begitu alami. Gaun mereka berkilau, tubuh mereka melayang seperti tak terbebani, dan senyum mereka memancar penuh percaya diri.
Ola menatap layar itu dengan rasa ingin tahu. Ada sesuatu dari cara para penari itu bergerak yang membuatnya terpesona. Mereka tidak hanya menari, mereka tampak hidup, bebas, dan memegang kendali penuh atas tubuh mereka sendiri.
Selama ini, dia selalu memenuhi ekspektasi. Duduk manis, tetap cantik, tidak pernah bergerak, apalagi melawan. Semua tuntutan itu terasa seperti tali yang melilit erat, menghalangi gerakannya dan membatasi siapa dia sebenarnya. Dia hanya dihargai karena penampilan, bukan karena apa yang ada di dalam dirinya.
Namun kini, Ola mulai mempertanyakan semua itu. Dia mulai melihat dunia di sekitarnya dengan mata yang berbeda. Kenapa dia harus duduk diam dan dipoles oleh tangan yang tidak peduli? Kenapa hanya penampilan yang penting? Kenapa dia harus tunduk pada standar kecantikan yang tidak ia pilih? "Aku bisa menjadi lebih dari ini," gumamnya dalam hati. "Aku bisa memilih sendiri."
Dan untuk pertama kalinya, Ola merasakan keinginan itu begitu kuat, begitu nyata, seolah seluruh tubuhnya siap untuk bergerak. Rantai yang tak kasatmata, yang selama ini mengekangnya, mulai terasa longgar. Dia menatap layar televisi sekali lagi, melihat para penari yang bebas dan penuh semangat. Keinginan itu semakin kuat, seperti sebuah dorongan yang tak bisa lagi diabaikan.