Lihat ke Halaman Asli

Seorang Pria Dewasa

Diperbarui: 17 September 2024   15:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

freepik.com/free-ai-image

Evan selalu tertawa. Sejak sekolah, kuliah, hingga bekerja, tak pernah ada yang melihatnya bersedih. Ia adalah pusat keriangan, pembawa kebahagiaan di setiap ruang yang ia masuki. Dengan wajah yang selalu dihiasi senyum, ia melemparkan lelucon kepada siapa saja yang ditemuinya. "Kamu nggak bisa serius, ya?" sering orang bertanya padanya, dan Evan hanya menjawab dengan tawa khasnya. Ia merasa bahagia. Tak perlu repot-repot memikirkan masalah hidup. Bagi Evan, hidup adalah panggung komedi yang tak perlu terlalu serius dimainkan.

Namun, waktu terus berjalan. Satu persatu teman-teman Evan pergi. Dulu mereka sering berkumpul bersama, menghabiskan malam dengan cerita-cerita lucu dan tawa tanpa henti. Tapi kini, ada yang pindah kerja, ada yang sibuk dengan keluarga, dan ada yang tenggelam dalam rutinitas rumah tangga. Perlahan tapi pasti, Evan mulai kehilangan rekan bercandanya. Sore-sore yang dulu diisi dengan obrolan ringan di kafe kini berubah sunyi.

Evan masih sendiri. Ia belum menikah, belum berkeluarga, dan bahkan tidak memikirkan masa depannya. Setiap kali ada yang menanyakan kapan ia akan "menetap" atau memikirkan hal-hal lebih serius, ia menghindar dengan melempar lelucon. "Wah, kalau gue nikah, siapa yang akan jadi pelawak buat kalian?" Dan semua pun tertawa, termasuk Evan.

Tapi pada suatu malam, ketika Evan duduk sendirian di apartemennya yang kecil, tawa itu tidak lagi terdengar. Kesunyian mulai merambat pelan-pelan, menyelimuti dirinya. Ia menyalakan TV, mencari acara komedi, berharap bisa mengusir sepi itu. Namun kali ini, tak ada yang berhasil membuatnya tertawa. Ia teringat akan teman-temannya. Dulu mereka selalu ada di sekelilingnya, tertawa bersama. Kini mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Bahkan beberapa dari mereka tak lagi mengangkat teleponnya.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Evan merasakan sepi yang mencekik. Ia mencoba tertawa, tapi tawa itu terasa hampa. Tak ada lagi suara tawa yang menjawab, tak ada lagi yang memerhatikan leluconnya. Ia benar-benar sendiri.

Saat itulah Evan mulai bertanya pada dirinya sendiri. Mengapa semuanya berubah begitu cepat? Mengapa ia merasa tertinggal? Teman-temannya telah membangun kehidupan---karir, keluarga, rumah---sementara ia hanya menjalani hari demi hari tanpa rencana. Selama ini, ia selalu menghindari kesedihan dengan tawa, selalu menutupi keresahannya dengan humor. Tapi kini, tak ada lagi yang bisa ia lewati dengan canda.

Evan merenung. Apakah selama ini ia terlalu banyak bercanda, hingga ia lupa bahwa hidup tak selalu tentang tawa? Di balik setiap canda, di balik setiap senyuman, ada kesedihan yang tak pernah ia izinkan masuk ke dalam hidupnya.

"Aku belum dewasa," gumam Evan pada dirinya sendiri. "Aku belum pernah benar-benar bersedih."

Evan ingat kata-kata seorang teman lama yang pernah mengatakan, "Orang dewasa itu harus merasakan sedih, Van. Kesedihan adalah bagian dari hidup yang nggak bisa kita hindari. Kalau kita cuma ketawa, kita nggak pernah benar-benar hidup."

Saat itu, Evan tertawa mendengar nasihat itu. Tapi sekarang, dalam kesunyian yang melingkupinya, ia sadar bahwa temannya benar. Kesedihan adalah bagian dari menjadi dewasa. Orang dewasa tidak hanya tahu bagaimana tertawa, tetapi juga bagaimana bersedih, bagaimana menghadapi kenyataan pahit yang tak bisa dihindari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline