Lihat ke Halaman Asli

Lima Menit ke Depan

Diperbarui: 18 September 2024   23:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

freepik.com

Aksa sedang berteduh di bawah pohon, menikmati gemericik hujan yang turun dengan tenang. Langit kelabu, tanah yang basah, dan angin yang menggesek dedaunan menciptakan harmoni alam yang selalu ia sukai. Namun, dalam sekejap, kilat membelah langit. Sebuah petir menyambar dengan begitu cepat, terlalu dekat---terlalu nyata.

Aksa tersentak dan terjatuh. Suara gemuruh itu masih bergaung di telinganya saat ia membuka mata, tubuhnya lemas. Tapi anehnya, ia hidup. Bahkan, lebih dari sekadar hidup. Ia bangkit perlahan, mendapati sebuah sensasi asing mengalir di tubuhnya. Pandangannya tiba-tiba dipenuhi kilasan-kilasan peristiwa. Seperti layar film yang bergerak cepat, tapi bukan dari masa lalu---melainkan dari masa depan.

Saat ia meraba tanah, ia tahu batu yang akan menyentuh ujung jarinya dalam lima menit ke depan. Ketika hujan mengguyur lebih deras, ia tahu kapan butiran hujan berikutnya akan jatuh di kepalanya. Seolah-olah setiap detik hidupnya sudah ditulis dalam lembaran takdir yang ia bisa baca sebelum lembaran itu dibalik.

Awalnya, Aksa terpesona. Memprediksi apa yang akan terjadi lima menit ke depan memberi sensasi kendali yang luar biasa. Ia menghindari kesalahan kecil, bahkan bahaya, dengan mudah. Ia tahu kapan sebuah mobil akan melintas, kapan orang akan tersandung, dan kapan dirinya harus bicara atau diam. Tidak ada lagi kekhawatiran. Tidak ada lagi kejutan.

Namun, seiring waktu, semua menjadi sunyi. Tanpa ketidakpastian, hidup menjadi serupa garis lurus yang panjang dan datar. Tanpa bukit-bukit kejutan yang membuat hati berdebar, Aksa merasa hampa. Ia tahu kapan seorang teman akan menertawakan leluconnya sebelum ia mengucapkannya. Ia tahu apa yang akan terjadi saat ia masuk ke kafe kesukaannya. Tidak ada lagi rasa penasaran, tidak ada lagi rasa takut.

"Ini hidup macam apa?" gumamnya suatu malam, menatap cangkir kopinya yang sudah basi. Di depannya, buku yang ia pegang terasa tak lebih dari sekadar daftar belanja. Kata-kata tak lagi mengejutkan; ia sudah tahu akhir setiap paragraf sebelum membacanya. Lalu, perlahan, sesuatu dalam dirinya mati---sebuah bagian penting yang membuatnya merasa hidup.

Hari demi hari, Aksa mulai merindukan hal-hal yang tak ia ketahui. Ia ingin kembali ke masa di mana dirinya tak bisa memprediksi apa yang akan terjadi. Ia ingin merasakan kembali jantungnya berdegup kencang saat hujan turun tiba-tiba, atau merasakan getaran hati ketika seseorang tak terduga menyapanya di jalan.

Kemudian, suatu sore yang suram, hujan kembali turun. Kali ini, Aksa tidak berteduh. Ia berdiri di tengah lapangan, menatap langit kelam yang seolah mencibir kebosanan hidupnya. Ia tahu, dalam lima menit, sebuah petir akan menyambar tepat di mana ia berdiri. Dan itulah yang ia inginkan.

Saat lima menit terlewati, kilat membelah langit lagi. Suara gemuruh menghantam kesunyian, dan tubuh Aksa sejenak terlempar ke tanah. Tubuhnya bergetar. Rasa panas menjalar, tapi entah kenapa ia merasa lega.

Perlahan-lahan, Aksa membuka mata. Tubuhnya gemetar. Sensasi sakit membakar masih terasa, tetapi ada sesuatu yang lain. Sebuah kejutan kecil mengalir ke dalam dirinya: ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline