Setiap pagi, Haris selalu mengucapkan hal yang sama pada istrinya. Dia akan mendekat dengan senyum lembut, menyentuh pipinya, dan berkata, "Apakah aku sudah bilang kamu cantik dan aku mencintaimu hari ini?" Istrinya, Fatma, akan tersenyum manis, mengangguk, dan menjawab, "Ya, kamu sudah."
Lalu Haris akan tertawa, seolah lepas dari beban, dan kembali ke rutinitasnya. Hari itu terasa indah, seolah segala sesuatu berada di bawah kendalinya.
Belakangan ini Haris mulai melonggarkan pekerjaannya. Dia suka berlama-lama di rumah, menikmati waktu bersama Fatma, meski hanya duduk bersama tanpa banyak bicara.
Pekerjaannya mungkin menumpuk, tapi dia tak peduli. Baginya, Fatma adalah yang paling berharga. Bahkan ketika jam kerja memanggil, Haris sering bermalas-malasan, menunda keberangkatannya hanya untuk menatap Fatma lebih lama. Dia merasa waktunya bersama istrinya terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja.
Hingga suatu hari, di saat senja memerah di luar jendela, puteranya, Hilman, menghampirinya dengan raut wajah tegang. "Pa..." suara Hilman terdengar berat, seolah menahan sesuatu yang sulit diucapkan. Haris menatap anaknya, terkejut melihat sorot mata Hilman yang penuh dengan kebimbangan.
"Ada apa?" tanya Haris sambil mengerutkan kening.
Hilman menelan ludah, kemudian menghembuskan napas panjang. "Mama sudah meninggal, Pa."
Dunia Haris seketika runtuh. Dia tak bisa berkata apa-apa. "Apa maksudmu?" suaranya nyaris tak terdengar.
"Pa, Mama sudah meninggal. Sudah lama, Pa. Papa bahkan tidak datang ke pemakamannya. Papa terlalu sibuk bekerja waktu itu. Papa juga tak pernah ke rumah sakit. Aku yang menemaninya... sampai napas terakhir."
Haris terpaku, tubuhnya membeku, namun di dalam dadanya, ada kepedihan yang membara, memeluknya erat. "Tidak... Mama ada di sini... Aku selalu bertanya padanya... setiap hari... dia selalu menjawab...," ucapnya terbata-bata, menolak kenyataan yang baru saja diceritakan anaknya.