Lihat ke Halaman Asli

Memori Pria Tua

Diperbarui: 14 September 2024   19:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

freepik.com

Sinar matahari pagi menelusup pelan melalui tirai tipis di kamar rumah sakit itu, memberikan sedikit kehangatan pada ruang yang terkesan dingin. Pria tua bernama Sakti terbaring lemah di ranjang, tubuhnya kurus, napasnya berat. Usia telah menggerogoti dirinya, bukan hanya secara fisik, tetapi juga dalam cara ia mengingat dunia.

Seorang suster dengan wajah tenang duduk di kursi di samping ranjangnya, menggenggam tangannya dengan lembut. Ia telah merawat Sakti selama beberapa bulan terakhir. Setiap hari, ia mendengar cerita yang sama, tentang betapa Sakti mencintai istrinya yang sudah tiada. Ia tidak pernah menyela, tidak pernah mengoreksi.

Sakti menoleh pelan, matanya tampak jauh, seakan menembus waktu dan ruang. Suaranya parau, namun penuh perasaan. "Istriku, Susi... wanita yang paling aku cintai. Dia telah pergi, tapi aku masih bisa merasakan kehadirannya setiap kali aku membuka mata."

Suster tersenyum tipis, matanya berkilat.

Sakti melanjutkan ceritanya, suaranya bergetar dengan emosi. "Dia wanita luar biasa, Suster. Susi itu... dia selalu sabar dengan semua kebodohanku. Dia yang selalu mengingatkan aku untuk tidak terlalu keras kepala, untuk menikmati hidup. Tapi... aku tak pernah mendengar nasihatnya, tak pernah benar-benar mendengarkan." Sejenak, Sakti terdiam, dan pandangannya menerawang.

"Aku ingat bagaimana kami dulu sering berjalan di taman setiap sore. Dia suka sekali bunga mawar. Tapi aku... aku terlalu sibuk dengan urusanku. Sekarang, aku menyesal, Suster. Betapa aku menyesal tidak memberikan waktu lebih untuknya."

Suster mengalihkan pandangannya ke arah jendela.

"Suster, apakah kamu punya seseorang yang kamu cintai?" tanya Sakti, suaranya mengalun perlahan, hampir seperti sebuah bisikan. "Seseorang yang kamu ingin selalu berada di sampingmu?"

Suster tersenyum getir. "Ya, Pak Sakti. Saya punya."

Sakti tersenyum kecil, senyum yang sejenak menghangatkan hatinya. "Jangan pernah lepaskan dia. Jangan seperti aku. Aku terlalu sibuk mengejar hal-hal yang tidak penting. Pada akhirnya, yang paling berarti hanyalah dia."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline