Senja itu, angin membawa hawa basah. Awan gelap menggantung rendah, seakan bersiap menumpahkan rahasianya yang berat. Di halte bus yang sepi, Amara berdiri menatap langit. Rambutnya yang panjang tergerai, matanya tajam menantikan sesuatu. Orang-orang di sekitarnya tampak gelisah menunggu bus yang tak kunjung datang. Mereka memegang payung atau jaket, siap menghadapi hujan. Namun Amara tak menggerakkan tangan. Ia hanya berdiri di sana, senyumnya tipis.
Dia tidak pernah mendengar rintihan angin atau gemuruh guntur yang menghentak dari jauh. Ia tidak pernah tahu bagaimana desahan lembut tetes air membelai permukaan bumi. Sejak kecil, Amara tunarungu. Namun, dalam diamnya, ia memiliki impian yang terlampau tinggi: menjadi seorang penari.
Seorang penari tanpa musik---seperti sebuah lukisan tanpa warna, pikir banyak orang. Musik, mereka bilang, adalah jiwa tarian. Namun Amara percaya, musik bisa ada di mana saja. Di udara, di hati, di gemetar angin, di dalam dirinya sendiri.
Dan senja itu, ia menunggu sesuatu yang lebih dari sekadar bus. Ia menunggu hujan. Perlahan, butir pertama jatuh. Lalu kedua. Tak butuh waktu lama sebelum tetesan-tetesan itu menari di atap halte, membasahi trotoar yang berdebu. Amara mendongak, menikmati pemandangan alam yang bergerak. Orang-orang di halte segera membuka payung mereka, mencoba melindungi diri dari hujan.
Amara, sebaliknya, memejamkan mata. Ia merasakan getaran di kakinya ketika tetes-tetes air menghantam tanah. Ada sesuatu yang baru---sesuatu yang aneh. Dalam keheningan yang sudah biasa ia rasakan sepanjang hidupnya, tiba-tiba ada suara. Suara yang tak pernah ia dengar sebelumnya.
Ia membuka mata, kaget. Suara itu datang dari segala arah---tapi bukan musik dari alat. Itu adalah tetesan air, jatuh dengan ritme yang teratur, saling berpadu. Setiap tetes menciptakan irama, setiap benturan melahirkan harmoni. Tetesan air hujan di atap halte, di jalanan, di tanah yang haus---semuanya seperti orkestra alam yang tak terlihat tapi dapat dirasakannya. Dan untuk pertama kalinya, Amara mendengar musik!
Hatinya melonjak. Ia tidak berpikir panjang. Tangan dan kakinya mulai bergerak mengikuti ritme yang ia ciptakan di dalam kepalanya sendiri. Ia melangkah ke luar halte, tanpa peduli dengan hujan yang membasahi tubuhnya. Setiap gerakan adalah ungkapan dari kebebasan, setiap putaran adalah luapan kebahagiaan. Di bawah hujan, Amara menari. Kakinya berayun di atas aspal yang basah, tangannya melayang seperti sayap burung. Di wajahnya, senyum merekah.
Orang-orang yang tadi berteduh kini menatapnya dengan takjub. Mereka tidak mengerti apa yang terjadi. Mengapa gadis ini begitu bahagia? Apa yang membuatnya menari di bawah hujan lebat tanpa peduli basah? Namun, ada sesuatu dalam cara Amara bergerak yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Mungkin, meski mereka tidak mendengar musik seperti Amara, mereka bisa melihat keindahan tarian yang jujur dan tulus.
Hujan semakin deras, dan Amara terus menari. Sepatunya yang basah tak lagi ia rasakan. Ia tenggelam dalam perasaan yang selama ini ia rindukan. Setiap tetes hujan adalah notasi baru yang ia mainkan dengan tubuhnya. Setiap gerakan adalah tarian yang selama ini ia impikan. Ini adalah momen yang selalu ia cari---momen di mana ia bisa menjadi penari sejati, tanpa harus mendengar musik seperti orang lain.
Ketika hujan mulai reda, Amara berhenti. Nafasnya tersengal, rambutnya menempel di wajah, dan pakaiannya basah kuyup. Namun hatinya terasa penuh, seakan seluruh dunianya baru saja terisi dengan kebahagiaan yang tak terlukiskan.