Lihat ke Halaman Asli

Dunia Tanpa Warna

Diperbarui: 12 September 2024   12:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

freepik.com

Pagi itu, ketika mata Banyu terbuka, dunia telah kehilangan warnanya. Langit di atas rumahnya berwarna abu-abu pucat, pepohonan di taman tampak kelabu, bahkan bunga-bunga yang biasa mekar dengan cerah hanya menjelma menjadi bayangan pudar tanpa rona. Banyu mengucek matanya, mengira ini hanya mimpi yang aneh. Namun, saat dia keluar dari kamar, semuanya tetap tak berubah. Tak ada warna. Tak ada rasa.

"Apakah aku buta?" pikirnya. Namun, penglihatannya masih jelas---segala bentuk, garis, dan tekstur tetap ada, hanya tanpa sentuhan kehidupan. Gelas di atas meja sarapannya tampak seperti benda mati yang tak pernah dihuni cahaya, dan saat ia menghirup kopi paginya, rasa pahit yang biasa menusuk lidahnya kini menguap, menjadi kosong.

Ia berjalan keluar rumah, menatap jalanan yang biasanya ramai dengan aktivitas manusia. Namun, seperti dirinya, orang-orang tampak bergerak dengan lemah, lesu, seolah hidup mereka kehilangan semangat. Mobil-mobil melintas tanpa bunyi klakson, tanpa hiruk pikuk. Tidak ada percakapan yang menyala, hanya gumaman datar.

Hari-hari berlalu dalam kekosongan. Banyu mencoba melakukan berbagai hal untuk mengembalikan warna ke dalam hidupnya. Dia pergi ke museum seni, berharap lukisan-lukisan di sana akan membangkitkan sedikit perasaan dalam dirinya. Namun, semua kanvas tampak mati, seperti foto-foto lama yang memudar. Ia mencoba menonton film, membaca buku, bahkan mendengarkan musik favoritnya. Semua yang pernah memberinya kebahagiaan sekarang terasa seperti sekadar aktivitas tanpa makna. Hanya gerakan tanpa jiwa.

Kehidupan yang kelabu ini membuat Banyu semakin putus asa. "Apa yang sebenarnya terjadi?" batinnya terus bertanya, tanpa jawaban. Setiap malam ia tidur dengan harapan dunia akan kembali normal keesokan harinya. Namun, setiap kali ia membuka mata, ia tetap terperangkap dalam dunia yang tak bernyawa ini.

Suatu malam, Banyu bermimpi. Dalam mimpinya, ia berjalan di hutan yang lebat dan berwarna-warni. Tapi ketika ia mengulurkan tangan untuk menyentuh bunga di depannya, bunga itu perlahan memudar, warnanya berubah menjadi abu-abu, seperti dunia yang ia tinggali sekarang. Segalanya memudar, kecuali sebuah suara. "Kau sudah lama kehilangan warnamu sendiri," suara itu terdengar lembut, tetapi penuh misteri. "Dunia di sekitarmu hanyalah cerminan dari hatimu."

Banyu terbangun dengan nafas tersengal. Kata-kata itu terus menggema di pikirannya. Apakah dunia ini kosong karena hatinya sendiri yang telah kehilangan sesuatu? Ia mulai mengingat kehidupannya yang dulu, penuh dengan harapan dan impian. Ia pernah mencintai, pernah bermimpi tinggi, namun seiring berjalannya waktu, ia mulai menutup diri dari rasa sakit, kehilangan, dan kecewa. Ia memilih menjalani hidup dengan hati yang tertutup, menghindari apa pun yang bisa melukai, meski itu juga berarti menutup diri dari kebahagiaan.

Banyu teringat masa lalu, ketika ia masih bisa tertawa lepas bersama teman-temannya. Ketika cinta pertama menghiasi harinya. Ketika setiap mimpi tampak mungkin dicapai. Namun, bertahun-tahun kemudian, setelah patah hati, kegagalan, dan luka-luka yang tak kunjung sembuh, ia mulai memutuskan untuk tidak merasakan apa-apa. Rasa sakit itu terlalu berat untuk ditanggung, hingga pada akhirnya, tanpa sadar, ia membiarkan semua rasa, bahkan kebahagiaan, memudar dari hidupnya.

Keesokan harinya, Banyu memutuskan untuk memulai perjalanan baru. Ia ingin menemukan kembali dirinya, membuka kembali hatinya yang tertutup. Dia mengunjungi tempat-tempat lama yang pernah membuatnya bahagia, menghubungi teman-teman yang sudah lama tak ditemui, dan memulai percakapan dengan orang-orang yang dulu ia hindari. Sedikit demi sedikit, ia berusaha merasakan lagi, menghidupkan kembali apa yang pernah hilang.

Namun, meski Banyu berusaha, dunia tetap abu-abu. Warna tak kunjung kembali, meski ia mulai merasa sedikit lebih hidup. Pikirannya dipenuhi oleh keraguan, bertanya-tanya apakah usaha ini sia-sia. Hingga suatu hari, ia berjalan ke sebuah tempat yang tak asing baginya---rumah lamanya, tempat ia tumbuh besar bersama keluarganya. Di sana, di sudut ruangan yang dulu penuh tawa dan cinta, ia menemukan sebuah kotak kayu kecil yang sudah lama ia lupakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline