Lihat ke Halaman Asli

Surat dari Masa Depan

Diperbarui: 5 September 2024   07:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

freepik.com/premium-ai-image/

Malam itu, hujan turun dengan derasnya, seakan langit tak kuasa menahan air matanya lebih lama. Awan pekat menggulung di angkasa, dan kilat menyambar di kejauhan, menyisakan aroma tanah basah yang memenuhi udara kamar Dimas. Ia duduk di sudut kamar, mengamati selembar kertas yang baru saja ia temukan dalam laci mejanya. Di permukaan kertas itu, tertera tulisan tangan yang begitu akrab baginya, namun jauh lebih dewasa. Tulisan itu jelas bukan milik siapa pun kecuali dirinya sendiri.

"Dimas,
Ketika kau membaca surat ini, kau akan berusia 17 tahun. Aku adalah dirimu yang datang dari masa depan. Aku tidak punya banyak waktu, jadi simak baik-baik. Ada beberapa keputusan yang akan kau buat, yang akan mengubah hidupmu untuk selamanya. Kau mungkin berpikir hidupmu sekarang tak berarti, tapi percayalah, setiap langkah yang kau ambil di hari-hari ini akan menentukan nasibmu kelak."

Jantung Dimas berdetak lebih kencang. Bagaimana mungkin? Surat ini dari dirinya yang berada di masa depan? Apakah ini sebuah lelucon dari teman-temannya? Namun, semakin lama ia membaca, semakin yakin ia bahwa ini bukan sekadar gurauan. Bahasa yang digunakan dalam surat ini begitu dekat dengan pikirannya---seolah menyingkapkan rahasia terdalamnya yang bahkan tak pernah ia ungkapkan pada siapa pun.

"Kau akan bertemu dengan seseorang, seorang gadis bernama Rina. Ia akan menjadi cahaya dalam hidupmu, tapi juga awan gelap yang menghalangi pandanganmu. Kau akan jatuh cinta padanya, Dimas, dan itulah keputusan pertama yang akan kau sesali."

Dimas merasa tenggorokannya tercekat. Rina, gadis yang selama ini diam-diam ia sukai, memang selalu ada dalam pikirannya. Ia bahkan berpikir untuk mengungkapkan perasaannya pada gadis itu besok. Namun, surat ini---surat dari dirinya di masa depan---memperingatkannya.

"Dia akan memanfaatkanmu, bermain dengan perasaanmu, dan akhirnya meninggalkanmu. Kau akan kehilangan teman-temanmu, kesempatan-kesempatan yang kau miliki, bahkan mimpimu. Hati-hati dengan cinta buta, karena ia bisa menutup matamu pada kenyataan yang lebih luas."

Dimas membiarkan surat itu terkulai di pangkuannya sejenak. Ia teringat malam-malam panjang memikirkan Rina, membayangkan bagaimana hidupnya akan berubah jika ia bisa bersamanya. Tapi surat ini menyadarkannya---ada sesuatu yang lebih besar di luar hasrat masa mudanya.

"Setelah itu, kau akan dihadapkan pada kesempatan besar dalam kariermu. Kau akan memiliki pilihan untuk mengambil beasiswa di luar negeri atau tetap tinggal di kota ini bersama keluargamu. Pilih dengan bijak, karena keputusan ini akan membawamu pada arah hidup yang tak terduga. Jika kau memilih untuk tinggal, kau akan kehilangan kesempatan emas yang hanya datang sekali dalam hidup. Jika kau pergi, kau akan terbang tinggi, namun kesepian akan menjadi teman setiamu."

Angin malam meniup tirai jendela kamar, membawa hawa dingin yang membuat Dimas merinding. Ia selalu bermimpi untuk pergi ke luar negeri, melanjutkan pendidikan, meraih cita-citanya menjadi seorang penulis terkenal. Namun, kini, di hadapannya terbentang dua jalan yang sama-sama penuh duri. Meninggalkan keluarganya, atau meninggalkan mimpinya?

"Aku tak bisa memberitahumu semua yang akan terjadi, Dimas. Hidup adalah tentang belajar dari kesalahan dan tumbuh dari pengalaman. Namun, aku memberimu peringatan ini agar kau tidak mengambil jalan yang paling menyakitkan. Setiap keputusan yang kau buat memiliki konsekuensi. Pilih dengan hati-hati, dan jangan pernah meremehkan kekuatan pilihan-pilihan kecilmu. Karena di sanalah masa depanmu terbentuk."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline