Desa kecil itu, yang biasanya tenang seperti aliran sungai yang membelainya, mendadak menjadi panggung kegelisahan yang tak terperi. Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul dari balik perbukitan, namun langkah-langkah Rama telah menjejak tanah, menyusuri jalan-jalan berdebu dengan pandangan yang tak pernah diam. Matanya, seperti mata burung yang kehilangan sarangnya, menyapu setiap sudut desa, mencari sesuatu yang hanya ia sendiri yang tahu, atau mungkin bahkan tak tahu.
Kabar tentang Rama yang tak henti mencari sesuatu menyebar seperti api yang disulut angin. Warga desa, yang awalnya hanya mengamati dari jendela atau dari sela-sela kesibukan mereka, lambat laun tertarik keluar dari rumah mereka, menyeret rasa ingin tahu yang dibungkus rasa cemas. Apa yang dicarinya, apa yang hilang dari hidupnya, mereka bertanya-tanya.
"Rama, apa yang kau cari?" suara Bu Siti terdengar lembut namun penuh ketakutan, seolah pertanyaannya bisa meruntuhkan dunia kecil mereka. Rama hanya menoleh sekilas, senyum tipis mengembang di bibirnya yang pucat, namun mata itu---mata yang seolah menampung seluruh kesedihan dunia---tak memberikan jawaban.
Pagi itu, langit cerah, namun terasa mendung dalam hati para penduduk. Mereka mulai meninggalkan pekerjaan mereka, meninggalkan rutinitas yang biasanya menjadi landasan hidup mereka. Bu Siti, yang biasanya menjaga kios sayurnya dengan penuh perhatian, kini meninggalkan timbangan dan pisau di atas meja, mengikuti Rama dengan langkah-langkah ragu. Pak Darto, yang dihormati sebagai penjaga kearifan desa, keluar dari rumahnya yang teduh, membawa serta seluruh penghuni desa dalam kereta api panjang pencarian yang tak berujung.
Kehebohan melanda, bukan dalam hiruk-pikuk suara atau teriakan, melainkan dalam diam yang penuh makna, dalam bisik-bisik yang menyelimuti setiap langkah mereka. Anak-anak, yang biasanya berlari-lari di padang rumput, kini berjingkat, mengikuti orang tua mereka dengan mata terbelalak penuh keingintahuan. Para ibu, dengan tangan yang basah oleh pekerjaan rumah yang belum selesai, meninggalkan panci dan sapu, melangkah ke luar untuk bergabung dalam pencarian ini.
Mereka menyisir hutan yang rindang, dimana sinar matahari hanya berani menyelinap di antara celah dedaunan. Mereka menyusuri sungai yang gemericik, mencari di bawah bebatuan dan di balik semak-semak, seolah di sana, dalam kegelapan alam, tersembunyi jawaban atas teka-teki yang tak terucapkan. Mereka memasuki gudang-gudang tua, tempat di mana debu dan bayangan berteman, berharap menemukan sesuatu yang bisa memberikan arti pada pencarian mereka yang sunyi.
"Apakah kita telah mencari di tempat yang salah?" bisik Bu Marni, ketika sore mulai merambat dan bayangan mereka memanjang di tanah. Pak Jono, yang terkenal karena tenaganya yang kuat, kini duduk terengah-engah, napasnya memberat oleh kelelahan, tetapi lebih dari itu, oleh rasa putus asa yang mulai menjalar.
Semua pencarian itu, seluruh kegilaan yang melanda desa, akhirnya membawa mereka kembali ke alun-alun. Di sana, di bawah pohon beringin tua yang telah menjadi saksi ribuan peristiwa, mereka berkumpul. Wajah-wajah mereka mencerminkan rasa frustasi yang sama. Matahari tenggelam, namun pertanyaan mereka tetap menggantung di udara yang semakin gelap.
Rama duduk di tengah-tengah mereka. Tubuhnya yang biasanya penuh tenaga kini lunglai, seperti daun yang tak lagi sanggup menahan berat embun pagi. Dalam keheningan yang mencekam, Bu Marni memberanikan diri mendekat, matanya penuh dengan keprihatinan yang tulus. "Rama, apa yang sebenarnya kau cari?" tanya dia, suaranya bergetar dalam senja yang semakin pekat.
Rama, yang sejak pagi hanya menjawab dengan diam dan senyum yang tak pernah sampai ke mata, kini tertunduk, bahunya bergetar oleh tangis yang ditahan-tahan. "Aku tak tahu... aku tak tahu apa yang hilang dari diriku," bisiknya, seolah-olah kata-kata itu adalah rahasia yang terlalu berat untuk diucapkan. "Aku merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang harus aku temukan, tapi... aku tak tahu di mana harus mencarinya."