Logika terbalik yang aneh.
Adakah dunia yang lebih kusam dan rancu dari Dunia Aneh Si Bayangan?
Ada.
Dan itu adalah dunia pendidikan di Indonesia...!
Sebuah komentar pahit yang cukup menggigit, yang tentu saja tidak akan terlahir dari keluarga besar pegawai dinas pendidikan yang barangkali telah sangat nyaman menikmati beragam fasilitas dan rupiah yang termaktub dibalik deret NIP mereka, yang secara otomatis membawa serta pula segala aturan sebagai konsekuensi profesi yang harus mereka junjung tinggi.
Tapi percayalah bahkan Sosok Bayangan seperti sayapun dapat menghirup begitu banyak aroma tak sedap yang terhambur dari dunia pintar itu, yang dengan sangat terpaksa akan sedikit saya bagi sebagai sebuah otokritik terhadap dunia yang pernah begitu lekat dengan hidup saya tersebut. Begini ceritanya…^_
Ketika kecurangan dan praktek ‘pelegalan’ mencontek pada era UAS/UAN (sekarang UN-Red.) mencuat dan mengisi berbagai media televisi negeri ini, saya cuma bisa melongo dan menggeleng-gelengkan kepala sendiri. Alangkah gegabahnya Komunitas Air Mata Guru, hingga begitu berani menyuarakan kusamnya potret pendidikan di negeri ini seakan-akan sistem pendidikan bisa langsung berubah hanya karena satu atau dua kasus saja.
Saya tahu praktek kecurangan itu memang ada dan benar-benar terjadi, sejak tahun-tahun pertama dimulainya UN...!!! Bahkan yang lebih mengejutkan dan terutama sekali: Memprihatinkan, kenyataan bahwa mayoritas sekolah ternyata memiliki tim sukses yang berfungsi sebagai penjamin kelulusan siswa di sekolah mereka mendekati 100%. Tak peduli apakah itu di sekolah negeri, swasta, sekolah miskin, kaya, bahkan juga sekolah-sekolah yang berbasis agama.
Dan tugas para tim sukses itu sederhana saja. Mereka hanya mengumumkan sebelum ujian agar siswa hanya mengisi maksimal 10 soal ujian saja, dan selebihnya akan diselesaikan oleh para petugas tersebut. Tak ada lembar jawaban yang rusak, kotor atau mencurigakan, juga tak ada hiruk-pikuk yang lainnya. Semudah itu. Dan semua praktek tak mendidik yang dilakukan oleh para oknum pendidik di lokasi yang katanya masih menjadi pusat kegiatan pendidikan itu, dilakukan semata-mata agar kredibilitas dan nama baik sekolah mereka tetap terjaga. Yang ujung-ujungnya tetap saja agar pabrik mereka terus bisa diminati oleh calon klien, yang berarti aliran dana pendidikan sebagai darah organisasi menjadi lancar dan terus mengalir.
Tak berhenti sampai di situ, saya juga tahu bahwa PKBM yang katanya menjadi alternatif tempat belajar masyarakat di luat lembaga formal, tak lebih dari sekedar ‘warung penjaja’ ijazah penyetaraan. Paket A sekian rupiah. Paket B yang setara pendidikan tingkat SMP dengan jumlah rupiah yang berbeda. Sementara untuk paket C, kebanyakan dari mereka hanya melayani program sosial/IPS saja, yang saya yakin karena hanya pada program tersebutlah mereka memiliki ‘dalang’ yang mampu membuat 100% siswa lulus. Baik itu siswa yang rajin mengikuti bimbingan dan tutorial yang telah dijadwalkan, maupun siswa yang hanya sesekali saja mengikutinya namun dengan enteng membayar lunas di muka untuk semua beban biaya yang telah ditetapkan. Tentu saja yang saya maksud adalah PKBM nakal yang kemudian mendapat gelar oknum. Hanya saja prosentasi yang terlalu besar dari jumlah oknum tersebut membuat saya tak yakin masih adakah PKBM yang bukan oknum...?