Lihat ke Halaman Asli

Cara Terbaik Menipu Tuhan

Diperbarui: 3 Juli 2015   21:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(Sebuah perenungan pribadi yang dibuat ketika masih menggunakan akun medsos ‘Pemimpin Bayangan’. Beberapa data diambil dari Harian Kompas era terakhir pemerintahan SBY-Budiono.).

Judul yang lumayan kontroversi dan mengundang emosi. Begitu juga isinya sebab dalam posting ini saya selipkan pula secuil konsep sederhana untuk mampu memberi sedekah sebesar minimal seratus juta rupiah perhari –dan mendapatkan sejumlah yang sama untuk si pemberi sedekah- hanya dengan satu kali meng-klik sebuah tombol di layar komputer, hingga tak ada lagi alasan untuk kita sibuk menghabiskan begitu banyak waktu, tenaga serta pikiran hanya demi mencari satu-dua dolar rejeki bagi kemaslahatan dapur keluarga tanpa sempat berbagi kepada sesama: dengan cara yang amat sederhana.

 Atau bagaimana caranya mampu mengajari bocah kecil kita yang masih berusia TK/PAUD, yang memang merupakan permata hati belahan jiwa bagi masing-masing keluarga, untuk mampu mengguncangkan dunia pendidikan dengan bermatimatika hingga setara siswa kelas 6 SD, berbahasa Inggris jauh lebih fasih serta mumpuni dibandingkan mereka yang di jenjang SMP, serta banyak lagi kemampuan lainnya yang ternyata dapat dikuasai oleh bocah-bocah cilik itu: Hanya dengan belajar satu jam sehari selama kurun waktu yang tak lebih dari 1 tahun, tanpa perlu direpotkan dengan segala macam biaya ini serta itu yang kerap membuat lemas para ibu juga ayah sebelum si kecil itu benar-benar memulai pengenalan dirinya terhadap dunia.. juga masih dengan cara yang amat sederhana.

Atau bagaimana caranya mampu memiliki sebuah pulau di Indonesia dalam waktu yang amat (relatif) singkat, serta menjadikannya sebagai ‘Pulau Peradaban’ yang jauh lebih keren dari sekedar Silicon Valley yang katanya gemar menjadi basis bagi inovasi teknologi dunia. Sebuah Pulau Peradaban milik kita sendiri, dengan masing-masing penghuninya yang terus me-leverage komunitas secara virtual hingga titik yang paling maksimal, seraya melulu meluncurkan bukan inovasi atau inventori alias penemuan baru yang mumpuni karena hal itu memang hanya bisa terjadi dalam level yang lebih kemudian lagi, melainkan sekedar kiat praktis serta tips juga trik tentang bagaimana memanfaatkan segala sesuatu yang telah ada dan tersedia dengan amat berlimpahnya di sekitar kita dan dunia secara umum, dan merubahnya menjadi sesuatu yang memiliki nilai serta manfaat yang jelas-jelas amat tak sederhana dan begitu saja, yang semuanya masih juga dengan cara yang amat sederhana.

 Atau bagaimana caranya kita mampu, walau cuma merubah diri yang seringkali terasa begitu tak berarti, hingga menjelma sosok yang jauh lebih baik atau sekedar pribadi yang jauh lebih berisi –dengan atau tanpa intrik- sambil diam-diam terus berusaha menipu Tuhan dengan cara dan metode tertentu, hingga akhirnya berhasil menyelundup ke dalam golongan mereka yang diberi rahmat serta maghfiroh yang melaut luas dari Allah... yang entah kenapa kesemuanya masih saja, lagi-lagi, dengan cara yang benar-benar teramat sederhana.

 Serta banyak lagi yang lainnya, yang kian membuat saya yakin bahwa judul dan isi dari posting ini memang lumayan kontroversi dan mengundang emosi. Tapi saya jamin insya Allah tak ada yang melenceng dalam postingan ini, walau memang saya prediksi akan cukup mengundang reaksi dari yang benar-benar membacanya. Begini ceritanya...^_

Suatu kali, seorang teman medsos bertanya melalui komentar di posting panjang saya yang berjudul: Dari Hujan ke Hujan,

 “Sebenarnya ‘Pemimpin Bayangan’ ini siapa, yah...?”

Sebuah pertanyaan yang beberapa waktu kemudian menyeret saya untuk berlelah-lelah lagi menelusuri jalan panjang kenangan yang pernah saya miliki, sehelai waktu yang harusnya telah menjadi basi karena hanya berisi muara segala peristiwa yang memang telah berlalu itu.

Dan terdamparlah saya pada berbagai kejadian yang... ternyata memang agak tak biasa jika dibandingkan dengan yang pernah dialami oleh sebagian besar sosok yang pernah saya kenal.

Sebagian orang menyebut saya pujangga, barangkali karena mereka pernah membaca puisi-puisi gagal (juga cerpen, memoar serta opini) yang pernah saya produksi dengan gaya slebor nan urakan itu, yang entah mengapa masih saja ada yang menganggapnya sebagai ‘masterpieces’...^_

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline