Lihat ke Halaman Asli

Mengenang Tulisan ‘Malaikat Pencuri’ Buatan Seorang Tukang Becak

Diperbarui: 11 Agustus 2015   21:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari ini absen gentayangan dini hari di Kompasiana karena ketiduran, membuat saya bertanya apakah usia memang selalu hakim bagi seseorang, hingga memaksanya untuk tak lagi mampu seproduktivitas dulu, dengan alasan kesibukan menggali periuk nasi, membuat karya yang lebih memprovokasi kemajuan diri, serta entah bualan keren apalagi yang akhirnya mendamparkan ingatan saya kepada seorang tukang becak yang beralih profesi menjadi penulis.

Masih terekam kuat dalam ingatan, betapa nyengirnya otak saya ketika membaca cerpen Malaikat Pencuri tersebut waktu ABG dulu.

Substansi ceritanya amat sederhana. Pertentangan antara Kelompok munafik agama yang diwakili oleh Haji Anu yang memiliki kedudukan suci di masyarakat –yang tetap akan terus suci dan disucikan tak peduli betapa timpangnya gaya hidup juga gaya beragama yang dilakukannya, dengan sosok yang mewakili dunia sekuler melalui karakter tokoh pemilik bisnis anu, yang biasanya akan langsung mendapat gelar: Pecinta dunia, anti sosial, pelit-medit, dan entah keburukan apa lagi yang perlu kita tandaskan di atas status ke-bos-annya.

Seingat saya, cerpen itu dibuka dengan protes anak Si Bos yang merasa malu akibat berkembangnya sindiran penuh kecaman dari Pak Haji, terhadap kepelitan bapaknya karena tak menyumbang masjid yang tengah dibangun dan diketuai oleh Pak Haji tersebut.

Protes kasar dari si anak itulah yang mengantarkan konflik yang sebenarnya, melalui dialog ketidak puasan istri Si Bos akan tingkah-polah suaminya tentang rumor buruk tersebut, dengan cara menyerang tokoh Pak Haji melalui dialog yang amat mencerahkan.

“Mengapa ayah tetap bungkam, dan mengapa tidak memberikan sumbangan kemarin secara terang-terangan saja, tanpa perlu menyembunyikan tangan kiri di belakang tangan kanan tatkala memberi, dengan mencantumkan ‘Hamba Allah’ di atas amplop? Kenapa tidak langsung menuliskan nama ayah saja di sumbangan tersebut? Dan lagi, sumbangan kemarin harusnya sudah lebih dari cukup untuk menuntaskan pembangunan masjid tersebut tanpa perlu lagi meminta sumbangan dari yang lain, tapi mengapa hingga kini tak juga kunjung selesai? Dan mengapa pula di halaman rumah Pak Haji kini terparkir mobil baru seharga sumbangan ayah? Apakah…?”

Tapi bukannya menuruti keinginan istrinya, Si Bos justru mengingatkan agar istrinya tak mengumbar buruk sangka terhadap ‘rejeki mobil baru’ Pak Haji, dan menyerahkan semua kejadian tersebut mutlak hanya kepada Allah, dengan tetap bertahan bahwa tindakan menyumbangnya yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi itulah yang terbaik nilainya dalam pandangan Allah, tanpa perlu meributkan apapun pandangan –dan juga kecaman- dari manusia.

Cerita kemudian ditutup dengan gemparnya masyarakat akan berita kecelakaan Pak Haji saat mengendarai mobil barunya tersebut, yang ketika kabar tentangnya sampai kepada keluarga Si Bos, membuat istrinya agak sungkan untuk menjenguk Pak Haji.

Tapi masih saja dengan penuh keteduhan, kembali Si Bos menasehati sang istri untuk tidak memutuskan kewajiban sosial menjenguk Pak Haji, hanya karena ketidak sukaan terhadap sesuatu hal yang terkait dengan Pak Haji, yang bahkan belum tentu kebenarannya itu.

Bergegaslah Si Bos menjenguk Pak Haji, yang saat itu tengah sakaratul maut sambil tak henti-hentinya memanggil nama Si Bos, seakan dengan cara tersebut Pak Haji ingin meminta maaf kepada Si Bos akan sesuatu hal…

Tulisan ini menjadi amat menarik bagi jiwa ABG saya yang masih ababil, mengingat versi aslinya yang ternyata mampu membuat pembacanya terharu, tanpa perlu menyudutkan tokoh tertentu ataupun juga keyakinan beragama kelompok tertentu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline