Lihat ke Halaman Asli

Utopia, Ethiopia, Indonesia

Diperbarui: 4 Juli 2015   20:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

“Sensasional…!” Indra menatapku tajam. Wajah batu itu, begitulah teman-teman memberinya julukan, kembali mengeras. Bibirnya membentuk sebuah senyuman yang amat melecehkan. Sinis.

“Kuakui bahwa kau adalah orang yang paling jenius yang pernah kutemui, nilai yang selalu bagus, pemikiran-pemikiran yang inovatif, juga pengalamanmu yang segudang akan organisasi dan kemasyarakatan. Tapi yang ini berbeda! BER-BE-DA…!!!” suaranya kembali terdengar. Wajahnya yang keras berubah keruh. Ada sinar keputus asaan yang membayang di sana.

“Apanya yang berbeda?” aku bertanya pelan, hati-hati.

“Ah, pura-pura bodoh kau! Kita ini cuma orang keciiil…! Bagaimana mungkin mampu merubah negeri yang penuh masalah ini…?!” suara Indra terdengar begitu aneh. Berapi-api, tetapi dengan makna yang begitu apatis dan melemahkan.

Sepulangnya Indra aku terdiam. Merenung. Apa sebenarnya yang aku cari? Terlalu tinggikah keinginanku?

Sementara di luar sana waktu terus melaju, menciptakan prajurit-prajurit kegelapan yang terus berderap dengan gagah.

***

Ruang berukuran tiga kali tiga ini begitu sederhana. Tak ada lemari. Tak ada tempat tidur. Juga, tak ada kasur. Satu-satunya benda yang memberi tanda bahwa ruangan ini adalah kamar tidur… sebuah bantal! Bahkan benda itupun sudah terlalu usang untuk mendapat gelar ‘pesawat mimpi’.

Kamar impian, begitulah aku biasa menyebutnya. Dua puluh tahun lebih aku tinggal di dalamnya, dengan berbagai kenangan yang sempat dirangkai hidup untukku. Dengan berbagai rasa dan situasi yang mencumbui, yang… tak pernah ingin kuberi nama.

Dinding kamar ini begitu penuh. Hampir tak ada lagi ruang kosong yang tersisa. Hanya saja, bukan karya seni yang menempel di sana, melainkan goresan jiwa. Goresan-goresan pena yang jumlahnya ribuan, yang kutulis pada tiap-tiap malam yang kulalui, buah renunganku terhadap hidup.

Pada salah satu sudut dinding yang penuh itu tertulis rangkaian sejarah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline