Lihat ke Halaman Asli

Mau Tahu Gilanya Gusdur…?

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14324716661756084915

Gegana!
Kosakata ajaib itu yang saya peroleh saat bertukar chat dengan seorang teman dari Pulau Kalimantan kemarin. Dengan penuh lugu saya tanyakan apa maksudnya, mengingat kehidupan teman tersebut sebagai PNS di D epartemen Pertanian, jelas tak berhubungan sedikitpun dengan Tim Penjinak Bom ala Indonesia ini.

Ternyata itu cuma akronim. Singkatan dari gelisah, galau dan merana. Hufh, ada-ada saja.
Dan mengalirlah percakapan tentangnya, tentang kenyataan yang tak sesuai dengan keinginan, hidup yang menekan, hati yang pilu serta entah apalagi seakan dari sekian milyar penduduk bumi, hanya dia dan cuma masalahnyalah yang paling berat dan ‘paling tak tertahankan’.

Iseng, saya buka facebook dan menjalani kebiasaan lama yang mengasyikkan: Mengintip deretan postingan di akun teman. Hasilnya? Kembali saya dapatkan gegana tersebut. Cukup banyak, malah, seakan kehidupan ini tak lebih dari sekedar pasungan penderitaan yang tak kunjung usai.
Dengan agak masygul saya tutup jejaring social tersebut, dan mulai berpilosofi dengan diri sendiri. Tentu saja sambil menyeruput kopi, sebab seringkali sesuatu sehebat apapun tak akan terasa lagi kehebatannya, jika cara menikmatinya keliru. Dan bagi saya, tidak mengopi jelas sebuah kekeliruan terbesar yang pernah terjadi di dunia yang penuh kegalauan ini…^_

Pada seruputan kopi yang kesekian akhirnya saya paham, apa sebenarnya yang membuat begitu banyak orang merasa galau bin gegana. Dan untuk itu agaknya saya harus berterima kasih kepada Gusdur!

Kenapa harus Gusdur? Begini ceritanya…

Syahdan di waktu yang entah kapan, Gusdur didatangi oleh dua orang pencurhat kelas dewa, yang agaknya sedang super pusing menghadapi masalah yang menimpa mereka.
-
Orang pertama : “Gus, saya pusing punya masalah yang berat banget.”
Gusdur                : “Menurut kamu sendiri, kira-kira ada solusinya apa tidak?”
Orang pertama : “*Setelah berkerut kening sejenak* Ada, Gus, tapi agak sulit.”
Gusdur                : “Ya sudah tidak usah pusing. Gitu aja koq repot-repot…”
*
Orang kedua : “Gus, saya pusing punya masalah yang berat banget.”
Gusdur            : “Menurut kamu sendiri, kira-kira ada solusinya apa tidak?”
Orang kedua : “*Setelah mengurut jidat sejenak* Tidak ada, Gus, tidak bisa dihindari.”
Gusdur            : “Ya sudah tidak usah pusing. Gitu aja koq repot-repot…”
-
Lantas, dimana letak kegilaan Gusdur? Saya, jawab: Tidak ada. Karena yang sebenarnya gila adalah diri kita sendiri. Gila karena menganggap betapa hidup yang nyata-nyata amat singkat ini, mesti dijejali dengan begitu banyak sampah jiwa, yang kemudian tanpa malu kita berteriak kesana-kemari, menceracau tentang apapun serta berceloteh tentang siapapun, seakan hanya dengan cara itu kebesaran diri kita baru bisa menjulang tinggi hingga ke angkasa.

Setiap orang hanya mengeluarkan apa-apa yang memang dimilikinya, membuat kita wajib menghitung ulang diri sendiri. Dan ketika kita begitu bernafsu melontarkan ribuan kalimat buruk kepada orang lain dengan sesungguh riuh, saat itulah yang paling jujur, menegaskan bahwa yang kita miliki memang hanya itu: Nafsu dan keburukan.

Semoga kita dijauhkan oleh Allah dari hal itu, aamiin.

Secangkir Kopi Penawar Kegalauan, Mei-24.015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline