Lihat ke Halaman Asli

Kecerdasan Jokowi Menentang Panasbung

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14323404642018481612

“Idealisme mahasiswapun dibeli hanya dengan sepiring jamuan makan di istana. Di mana harga dirimu, Nak?” – Jonru.

Kalimat getir tersebut yang tertera di laman facebook milik Jonru kemarin, yang seketika menghasut saya untuk mempertanyakan kembali, benarkah mahasiswa tak lebih dari sekedar ‘Pasukan Nasi Bungkus’, yang amat antusias ‘bergerak’ ketika suplai nasi bungkus –serta bungkus-bungkus lain yang sepertinya tak sekedar berisi: Nasi- berlimpah-ruah…?

Sebuah pertanyaan yang langsung saja menyeret kenangan saya untuk kembali mengembara ke masa pergerakan dulu, saat euforia mahasiswa baru begitu mendupak adrenalin dan rasa penasaran untuk mencicipi seperti apa rasanya berdemonstrasi.

Ternyata memang ada nasi bungkusnya!

Iseng, saya bergeser ke demonstrasi yang berada di luar lingkar Badan Eksekutif Mahasiswa. Kalau tidak salah yang mengatas namakan organisasi kepemudaan anu yang giat mengusung tema tentang anu yang sering anu itu. Dan… kali ini saya tak menemukan nasi bungkus. Cuma amplop. Cuma salam tempel berisi nominal tertentu dengan besaran yang disesuaikan ‘strata’ masing-masing pendemo, yang ketika nominal terkecilnya ditukarkan ke warteg saya optimis akan memperoleh nasi bungkus yang tak kurang dari lima belas bungkus!

Sebuah kenyataan yang amat menyebalkan, yang bertambah tebal rasa kesebalannya ketika dengan sumringah seorang mahasiswa muda berjaket warna beringin di kursi sebelah saya berkata tanpa malu-malu, “Alhamdulillah, dari kegiatan demo seperti ini saya akhirnya bisa kuliah mandiri.”

Benar-benar sebuah kredo yang gagah berani, yang membuat saya memutuskan drop out dari dunia perdemonstrasian saat itu juga, untuk selama-lamanya. Bagaimanapun juga, sebagai mahasiswa yang pernah bersyukur dapat menjadi satu-satunya warga slum area yang mampu kuliah di universitas negeri, saya merasa butuh untuk tetap mempertahankan 2 harta terbesar yang sekaligus juga harta terakhir saya, yaitu kehormatan dan harga diri, yang semoga tetap serta terus bisa untuk menjadi harta paling keramat yang saya punya, yang masih enggan untuk saya gadaikan hanya demi kepentingan remeh berbuah lembaran yang berakhir hanya sebagai isi lambung, untuk kemudian teronggok dengan amat bau di tempat pembuangan akhir: WC.

Tapi tak semua demo berbasis nasi bungkus, walau saya akui tak sedikit pula demo yang benar-benar beraroma nasi bungkus. Juga demo ‘abu-abu’ dengan massa yang tak diragukan lagi kemurniannya, yang sayangnya justru digadaikan oleh para elit pucuk demo bergaya Begawan namun handal menyulap rekening pribadi menjadi lebih bengkak setiap kali usai menggelar even demo nasional. Hanya saja kali ini saya tak memiliki hasrat berkontroversi tentangnya, karena ada sesuatu yang jauh lebih menarik lagi bagi saya ketimbang sekedar meributkan esensi demo. Dan sesuatu itu adalah Jokowi, sosok nomor satu Negara Indonesia. Sosok yang, seringkali terlihat lucu, lemah juga amat ndeso namun siapa sangka justru sosok inilah satu-satunya pribadi yang enggan untuk turut gegar otak terhadap kenyataan sejarah!

Ketika era awal Jokowi blusukan sejak menjabat Gubernur DKI Jakarta, yang berlanjut saat beliau menjabat sebagai Presiden RI, banyak pihak yang meraung-raung dan menceracau ini-itu tentang blusukan beliau, seakan ritual sidak ke pelbagai pelosok tersebut merupakan rule model temuan beliau yang paling fenomenal, dan oleh karena itu menjadi amat wajib untuk dikritisi, agar beliau tak ‘membumbung terlalu tinggi’.

Saat itu saya hanya merasa aneh sendiri. Apa ajaibnya Jokowi blusukan? Bukankah Umar bin Khaththabpun memiliki riwayat yang sama? Yang menjadikan beliau cukup tersohor efek ‘Gandum Gate’ yang amat inspiratif tersebut? Dan menjadikan beliau memutuskan untuk memikul sendiri karung gandum demi si miskin?

Atau tak perlu jauh-jauh ke masa Khulafaur, bahkan di negeri inipun masih ada Soeharto 'Sang Jendral yang Selalu Tersenyum', yang menghabiskan minimal sepuluh tahun pertama jabatannya untuk blusukan ke berbagai pelosok pedesaan, tanpa seorangpun berani meng-klaim bahwa beliau hanya melakukan pencitraan bersama entah berapa banyak petani, wong cilik serta sosok marginal entah apalagi, lengkap dengan jam tayang prime time TVRI sebagai media paling darling serta satu-satunya pada masa itu.

Barangkali mereka amnesia berjamaah, demikian pikir saya waktu itu, mengingat tak satupun pengkritisi blusukan (dan yang bukan pengkritisi) berkeinginan menautkannya dengan kenyataan sejarah. Atau setidaknya saya merasa hidup di dunia yang berbeda –yang kadang saat sedang iseng saya merasa diri sebagai paranormal super sakti penerjemah sasmita- yang mampu melihat blusukan tersebut dengan lebih ‘bening’ dan memaknainya hanya sebagai pengulangan gaya, dan bukannya kebaruan cara, serta banyak lagi praduga-praduga lainnya yang pada akhirnya cuma mengerucut kepada kesimpulan tunggal yang anti klimaks: Karena pelakunya adalah Jokowi.

Juga kenyataan terkini tentang gebrakan Jokowi menentang panasbung dengan nasi bungkus yang tidak lagi dikemas dalam bungkusan, melainkan tersaji dengan amat anggunnya dalam seremoni perjamuan yang terasa lebih kudus serta khusuk. Tak kurang dari 13 kompasianer yang ‘beruntung’  menghadiri jamuan sucinya. Juga beberapa Ketua BEM universitas, yang ketika kita berkeinginan untuk merunut lebih jauh lagi, saya yakin rentetan perjamuan tersebut tak lebih berbobot jika dibandingkan dengan perjamuan Jokowi tatkala memindahkan PKL di kampung halamannya, yang kabarnya hanya demi lebih memiliki cita rasa damai serta penuh aura kemanusiaan.

Saya tak ingin memperbandingkan apakah perjamuan kompasianer serta para tetua BEM universitas tersebut ‘berkasta’ jauh lebih rendah dibandingkan perjamuan pemindahan PKL di Solo, yang konon kabarnya lebih dari 2 jam serta lebih dari 70 kali pertemuan. Biarlah itu menjadi hak prerogatif masing-masing pembaca. Hanya saja saya lebih suka untuk mengulik fakta sejarah dibalik kejadiannya.

Jauh waktu sebelum Jokowi mempopulerkan perjamuannya, model tersebut pernah dipakai oleh seorang Lurah di bilangan Jakarta ketika mutasi dinas dari wilayah kumuh menjadi Lurah Glodok. Dari adik ipar lurah tersebut saya dengar cerita dahsyat yang cukup menggelitik. Bahwa Sang Lurah dengan amat cerdasnya tak menabuh genderang perang terhadap para petinggi preman Glodok, melainkan justru mengundang mereka bersantap malam bersama secara amat kekeluargaan, yang setelahnya barulah dilakukan perundingan segala-sesuatu yang dirasa perlu untuk dimusyawarahkan.

Perjamuan tersebut –kata si adik ipar lurah tersebut- berakhir dengan amat memuaskan, yang menurut kesimpulan pribadi saya tentu saja bukan memuaskan versi berkurangnya ‘Bang Jago’ beserta pungutan liarnya yang entah melibatkan berapa deret angka nol: Perhari…!!! Melainkan lebih kepada memuaskan versi ‘pembagian kue’ di antara mereka. Dan jika ada yang berminat untuk mengetahui seberapa besar potensi pendapatan illegal dari pembagian kue tersebut, sesekali mampirlah ke wilayah Muara Baru ketika pemilihan Ketua RW, yang bahkan hanya pemilihan tingkat RW saja sudah amat panas nyaris menyamai pilkada. Baik perputaran uangnya maupun perputaran yang lainnya. Dan itu terjadi jauh waktu sebelum era pemilihan langsung berlaku di negeri ini!

Merunut ke masa yang lebih tua, perjamuan kerap pula dipergunakan pasca pemilihan Ketua RT, serta yang lebih tua lagi mungkin adab wajib penyelenggaraan perjamuan akbar untuk rakyat pasca pemilihan Kepala Desa, yang pada masa kecil saya amat sukses membangkitkan jutaan keheranan pada saat kejadiannya, hingga akhirnya dengan amat riang saya nikmati ‘upacara wajib’ tersebut, bersantap hidangan lengkap rendang daging dan sebagainya, yang jelas amat mewah bagi keseharian warga desa.

Pada titik inilah saya kembali ke diri sendiri, dan memaknai Jokowi sebagai sosok paling cerdas yang mampu menyeruput saripati sejarah untuk kemudian mengemasnya dengan amat apik, sebagai rinai gerimis paling ciamik serta paling membumi guna mendukung kepemimpinannya.

Jokowi jelas amat paham betapa didihnya api dalam diri seseorang: Bila perut tak terisi. Maka dibuatlah perjamuan, yang setelahnya diharapkan rembugan menjadi jauh lebih santai, hidup serta adem. Tak sekedar itu, beliau seakan ingin menegaskan bahwa perjuangan pola panasbung, tak lagi up to date. Bahwa bergerak dahulu kemudian barulah nasi bungkus tak lagi sesuai dengan gaya kontemporer kekinian. Karena bergerak adalah simbol berjuang, dan definisi sederhana dari berjuang tentu saja meraih yang belum tergapai. Baru setelah itu nasi bungkus sebagai reward pertama, yang entah akan adakah reward kemudian setelah nasi bungkus?Yang dinikmati bukan hanya oleh para elite…?

Dengan ‘logika terbalik’ Jokowi mendobrak itu semua. Beliau hadapi para pejuang –yang berkebetulan perjuangannya bergesekan dengan diri dan posisi beliau- langsung dengan reward pertama: Nasi bungkus dalam kemasan perjamuan yang lebih kudus!

Selain efek kenyang yang memang cukup ampuh membuat malas dan meredakan semangat serta antusiasme, kembali Jokowi ingin ‘menitip pesan’ kepada yang berseberangan dengan dirinya, yaitu bahwa ketika mereka baru berjuang dengan cara ‘perjuangan’, beliau justru langsung menghadangnya melalui 'perjuangan versi lain' yang amat bertolak belakang, melalui hidangan perjamuan sebagai filosofi keberhasilan. Berbagi kenyamanan, untuk kemudian baru mendiskusikan rangkaian tahapan perjuangan dibalik semuanya laiknya sastrawan yang menghipnotis khalayak dengan kisah epik nan apik menggunakan plot mundur atau alur gabungan, yang tentu saja lebih mengena keindahannya mengingat watak dasar manusia yang amat gemar mengintip ending barulah kemudian menelusuri rangkaian pembuka serta lika-liku di setiap paragraf perjuangannya.

Apakah Jokowi negarawan terbaik? Saya tak ingin menjawabnya saat ini, karena khawatir tulisan ini menjadi amat panjang dan melelahkan. Tapi barangkali sempat, akan saya lanjutkan kisahnya dalam tulisan yang lainnya lagi, tentang betapa amat riuhnya ketimpang-ketimpung beliau melanggamkan negeri ini, dalam kisah, “Jokowi: Tembang Sang Dalang”.

Salam hangat Kompasianers, semoga bermanfaat.

Secangkir Kopi Dini Hari, Mei-015




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline