Lihat ke Halaman Asli

Pertemuan dengan Dedy Corbuzier, Uya Kuya, Serta Sulap Konyol Terhebat Abad Ini

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa jadinya bila orang sombong, sengak dan menyebalkan berkumpul dalam satu ruangan? Sebuah talkshow yang menarik, jawabannya. Dan itu semua hanya bisa terjadi di program 'Hitam-Putih' Tr**s7!

Saya bertemu Dedy untuk pertama kalinya sekitar tahun sekian, pada waktu peresmian Museum Prasasti yang berlokasi di Jalan Tenabang II. Waktu itu Dedy datang sebagai undangan, menggunakan setelan jas dan pantalon berwarna hitam, dengan rambut yang masih panjang sepunggung dikuncir rapi. Sedangkan saya saat itu belum lama terdaftar sebagai mahasiswa UI.

Tak lama kemudian status saya kembali berubah. Dan beberapa waktu setelah itu saya kembali bertemu dengan Dedy, sebagai undangan pada program televisi yang dipandunya tersebut.

Setelah beberapa pertanyaan basa-basi yang bersifat perkenalan, dengan gaya sengak yang dibuat-buat guna memancing tawa audiens, Dedy mulai menginterogasi saya lewat pertanyaan-pertanyaan tajamnya.

“Bayangan... Anda tadi mengatakan bahwa anda menjadi Direktur Pendidikan, padahal anda adalah orang yang tidak berpendidikan. Maksud saya, bagaimana mungkin orang yang tidak berpendidikan bisa menjadi seorang Direktur Pendidikan...?!”

Sebelum saya menjawab, tahu-tahu Uya Kuya menyerobot dengan gaya khasnya, “Iya, nih... Si Bayangan bo’ong, kali... Bagaimana kalo gue hipnotis aja, Ded, biar semuanya jadi jelas dan transparans...” lalu dengan cuek Uya mengeluarkan kertas tisu dan membakarnya tepat di depan hidung saya, sambil menceracaukan mantra yang biasa ia gunakan saat sedang menghipnotis, “Katakan yang ingin kamu katakan...” dan sebagainya yang langsung saja mengundang tawa audiens yang rata-rata mahasiswa itu, karena Uya hanya pura-pura berusaha membakar kertas tisu itu dengan sepatunya.

Dengan gaya standar saya yang cuek, santai serta sedikit sengak, saya jawab, “Setelah meluluskan diri lebih cepat dari UI dengan cara Drop Out, saya mengelola SD formal, TK Kristen berpenyelenggaraan Islami serta beberapa unit bimbingan belajar tidak dengan nama asli saya, melainkan menggunakan nama panggilan yang diberikan oleh teman-teman sekolah. Jadi secara resmi, menurut administrasi negara, nama yang saya pergunakan tidak pernah terdaftar di institusi pendidikan manapun... ”

“Anda tahu bahwa itu melanggar hukum?” tanya Dedy lagi tanpa tedeng aling-aling.

“Bukan melanggar hukum, Ded, melainkan di luar hukum.” jawab saya coba membela diri. Sebab walaupun saya menggunakan nama gaul dalam setiap penanda tanganan surat-surat resmi institusi dan atau bisnis saya, namun jelas-jelas saya tidak melakukan kegiatan usaha yang menghancurkan negara seperti memproduksi narkoba atau senjata api, misalnya.

“Bisa aje ngelesnya lo, Bayangan...” timpal Uya masih dengan senyum yang nyebelin.

“Lho? Ga gitu, Uya... Saya hanya mengungkapkan fakta yang sebenarnya...” ucap saya sedikit ngotot, yang dibalas Uya masih dengan tertawa.

“Tapi menurut informasi yang saya dengar, anda menjalankan kegiatan usaha yang tidak berbadan hukum. Atau dengan kata lain anda melakukan kebohongan publik serta melakukan kegiatan usaha yang ilegal, dalam beberapa perusahaan gelap atau fiktif...! ” kembali Dedy mengeluarkan tajinya melalui pertanyaan-pertanyaan berat dan merepotkan, yang kontan membangkitkan respon amat menyegarkan dari Uya Kuya.

“Gue kate juga ape, Bayangan... Kena dah lo sekarang...! Jangan bawa-bawa gue, yah...!” ucap Uya sambil melengos ke samping dan agak menjauh dari saya, yang mungkin karena geregetan dan terbawa suasana, membuat saya amat berhasrat untuk memiting lehernya, dengan penuh perasaan gemas!

Setelah tawa audiens mereda, saya memutuskan untuk menggunakan salah satu kebiasaan dari teman fesbuk saya, yaitu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan...^_

“Apakah Dedy bermaksud men-judge bahwa konfeksi adalah usaha gelap? Atau para pemilik warteg melakukan kegiatan yang ilegal? Atau pedagang di pasar-pasar tradisional itu fiktif?” ucap saya, yang seketika mendapat aplaus amat meriah dari audiens. Sementara Dedy hanya terdiam sambil sesekali tersenyum.

“Seringkali kita melakukan tindakan di luar hukum bukan karena kesengajaan, Ded, melainkan karena ketidak tahuan atau mungkin juga ketidak mampuan. Tentu akan jauh terasa lebih bijak jika kita tak lagi memukul rata dan mensikapi, bahwa semua yang tidak berlaku sesuai hukum adalah pelanggar hukum...” lanjut saya, menghasut semua yang hadir di studio mengulum sunyi yang sama heningnya seperti yang biasa tertoreh pada sebuah puisi.

Ya! Sebagai mahasiswa baru yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk berdemo dan mengurusi kehidupan pribadi yang penuh masalah, apa yang saya ketahui tentang hukum...?! Tentang bisnis...?! Atau tentang dunia pendidikan di Indonesia...?! Walau bukan berarti saya menjadi sosok yang ngawur dan kacau. Kemasan saya tetap bagus. Tetap terlihat bahagia tanpa satupun beban tersirat. Tidak terlihat sebagai produk broken home. Tidak terlihat miskin dan kumuh. Memiliki jejaring dan teman sosial yang sangat care dan responship, serta memiliki catatan akademik yang menunjukan bahwa saya adalah siswa di atas rata-rata: Tak peduli betapapun kacaunya kehidupan yang saya jalani...!!!

Tiba-tiba Dedy mengeluarkan sebuah buku memoar kecil, yang jelas membuat saya kaget mengingat naskah yang sok saya anggap inspiratif itu, belum lama saya serahkan ke markas salah satu penerbit sekuler yang cukup pro dengan anak muda!

“Dalam bab 2 buku ini, Anda mengklaim bahwa Anda merasa lebih hebat dari saya dalam hal sulap. Bisakah anda jelaskan dengan lebih detail, Bayangan... ”

Tak urung tanya sederhana tersebut menyulut begitu banyak kasak-kusuk tertahan dari seluruh audiens. Dengung-dengung tertahan dari ratusan mulut yang –meminjam ucapan Sapardi Djoko Damono- menggelincir dengan amat sederhana, seperti kayu yang menyerahkan diri telanjang bulat sepenuhnya kepada api, yang seketika menjadikannya tiada..^_ Tak terkecuali juga Uya Kuya, yang dengan gaya cibiran khasnya, tetap tak sanggup menutup penasaran yang tertawan jelas di tengah jidatnya, seperti takdir yang memang lazimnya amat mesti terjadi.

Untuk sejenak saya terdiam. Yang berlanjut dengan jenak-jenak lainnya yang bergantian menghampiri. Bukan karena saya tak paham dengan kalimat sederhana yang baru saja diucapkan oleh sosok tinggi besar juga berkepala botak di hadapan saya ini, karena saat menulis memoar tersebut saya jelas sehat wal ‘afiat, sadar serta mampu untuk mempertanggung jawabkan nyaris setiap huruf yang saya kikir dengan penuh luka di dalamnya. Atau diam-diam demam dalam gumam yang penuh aura keminderan lalu berharap mati-matian untuk tak lagi berada dalam kilat sorot kamera, yang saya duga memang pernah menjadi salah satu penyebab tirusnya wajah saya sejak era mahasiswa...^_

Akhirnya saya yang mengalah. Mengambil sikap untuk sejenak melepaskan pakaian tawadhu yang memang terlalu sedikit dimiliki oleh jiwa brengsek seperti saya...^_ Sebab jika semua orang melakukannya, akan seperti apakah kelak pengetahuan mesti berkembang? Dengan sosok-sosok penuh cahaya sebagai pemegang kunci pemahamannya... dengan amat erat serta rapat terus saja menguncinya dalam bilik kebijak cerdikan mereka! ^_ Dan bukankah menyombongi orang yang sombong adalah bentuk lain dari sekian banyak ibadah?

Saya optimis tak ada yang berminat untuk memungkiri, jika si botak di hadapan saya ini, jelas salah satu dari sekian banyak figur sombong yang pernah dikenal oleh manusia. Bahkan gaya merendah Dedy Corbuzierpun sudah amat sombong, apalagi jika ia tengah pasang aksi kesombongan setingkat kepala negeri yang amat khas itu! ^_

Dengan amat tegas saya anggukan kepala kuat-kuat, dan berkata dengan nada suara yang amat datar walau tajam.

“Yap! Sayangnya saya memang terlalu sering menganggap diri saya jauh lebih hebat dari Anda, Ded.  Bukankah Dedy hanya mampu menyulap dengan trik khusus, di panggung yang cuma hiburan...? Sementara saya mampu menyulap tanpa trik apapun, dengan kehidupan sebagai panggung saya!”

Saya tahu semuanya. Dari seseorang saya tahu bahwa kearifan lokal dan global yang terdapat dalam kata-kata No Pain No Gain, Jer Basuki Mowo Beo, atau No Money No Doing, yang seringkali saya jadikan pembenaran atas segala ketidak mampuan saya, menjadi tidak sakral lagi. Dengan entengnya dia ganti kata-kata itu dengan sederet kalimat sederhana namun cukup terbukti keampuhannya.

“Imposible is Nothing,” ucapnya suatu kali, yang dilanjutkan dengan kata-kata, “Yang terpenting bukan di mana kita berada, Bayangan... melainkan di mana kita bisa melakukan yang terbaik yang kita punya.“

Sejak saat itu saya ditarik olehnya untuk memasuki ‘dunia’ di mana uang bukanlah prasyarat utama saat kita mampu untuk memanfaatkan hal-hal terbaik –dan juga terburuk- yang kita punya: Secara cerdas...! Informasi dan data jadi begitu penting buat kami saat itu, juga cara mengemukakan fakta-fakta kepada pihak yang ‘kebetulan’ terkait dengan keinginan dan tujuan. Dan kuliah gratis + dapat ‘gaji’ dari UI adalah prestasi terbaik yang berhasil saya peroleh saat remaja, yang kemudian masih berlanjut dengan segala macam ‘pengalaman tak biasa’ yang saya dapatkan, seperti yang telah tertera dalam tulisan saya di jilid pertama.

Lama setelahnya baru saya sadari bahwa saat itu dia sebenarnya tengah mengajari saya tentang apa-apa yang dikemudian hari lebih dikenal sebagai streetsmart. Dia ajarkan kepada saya harus ‘menjadi apa dan menuju ke mana’, lengkap dengan ‘bagaimana menjadikannya’. Mengenal lebih dalam setiap garis, bentuk dan warna yang saya temui pada manusia-manusia kunci yang dia kenalkan kepada saya. Ada satu kata-kata dia yang selalu saya ingat, yang dia ucapkan pada suatu hari saat tengah berada dalam dekapan saya, “Gue ga mo terima lo yang apa-adanya, Bayangan... gue bener-bener ingin lo bisa jadi tempat gue bernaung kelak dari badai dunia...” Sebuah ucapan yang seringkali jadi sesuatu yang menguatkan saya saat benar-benar terkapar dihantam beribu badai dalam hidup saya. Dan ucapan itu pula yang kemudian memacu saya untuk mampu menjadi apapun atau siapapun yang dia butuhkan.

Dengan logika terbalik saya kembangkan sendiri streetsmart dan manusia-manusia kunci yang pernah dia beri. Merubah ‘we must to...’ menjadi ’what if’ dan ’how to...’ hingga saya dapat menjadi seperti yang sekarang ini, yang tahu begitu banyak nyaris tentang apapun dan di manapun.

Saya tahu bagaimana merubah sekumpulan mahasiswa baru dan atau buruh pabrik yang katanya tak terdidik, menjadi pengusaha yang bebas finansial tanpa mereka perlu repot-repot berkecimpung di dalamnya. Saya tahu bagaimana cara membuat seseorang memiliki berpuluh-puluh kartu kredit dari berbagai macam bank, personal loan, bahkan juga menjadi pemilik ‘bank’ dengan level tertentu, tak peduli jika misalnya seseorang itu cuma pekerja informal atau bahkan pengangguran sekalipun! Dan saya juga tahu bagaimana merubah pengontrak rumah menjadi kontraktor rumah, memiliki bisnis tanpa tempat usaha, perusahaan tanpa kantor, atau sekedar bermain aman dalam bisnis yang paling tahan terhadap krisis.

Saya tahu semuanya, dan telah membuktikannya bersama ribuan siswa dan lebih banyak lagi orang yang pernah berinteraksi dengan saya. Saya tahu semuanya, juga tahu bahwa banyak orang yang mampu untuk melakukannya. Hanya dengan teman yang tepat? Tentu lebih dari sekedar itu, seperti yang pernah saya bagi dalam tulisan saya sebelumnya.

“Tapi jika memang Anda benar-benar tahu semuanya, Bayangan, kenapa sekarang Anda hanya berakhir sebagai bayangan? Dan bukannya sebagai manusia setengah Dewa atau manusia setengah Jawa, misalnya...?!” tahu-tahu Dedy memboikot kisah saya, seperti kebiasaan ajaib yang setelah era reformasi, menjadi ciri paling khas dari siswa TK yang berkantor di gudang busuk Senayan itu, memaksa kesadaran bergelimpangan satu persatu lalu berebutan merasuk ke segenap raga kurus saya.

Setelah beberapa kali menghirup sekuat daya udara yang ada lalu menghembus lekas-lekas oksigen dari hidung boros saya, dengan sedikit lirih saya menjawab,

“Karena... pada akhirnya... saya juga memiliki pengetahuan tertinggi yang konon memang satu-satunya bakat terhebat milik makhluk yang bernama manusia, Ded... Saya tahu semuanya. Terlalu banyak tahu, Ded, hingga saya hanya memiliki 2 hal yang benar-benar saya tidak tahu: Tidak tahu diri dan tidak tahu malu...!!!”

Dedy terdiam. Begitu juga Uya Kuya, audiens, kamerawan, laci meja juga lantai tempat kami berpijak. Tapi kebenaran tak hendak turut diam. Berlarian dari satu kepahaman menuju kebijaksanaan yang lainnya, dan bersatu menelikung waktu hingga cuma serupa debu, dalam rinai kesombongan manusia yang masih tersisa dan berderai satu-satu menyisakan kembali cuma sunyi, hingga akhirnya dengan amat malu menguap, terbang menuju muara segala yang hilang... Menuju-Nya. Menjelma kembali sebagai pakaian juga selendang yang memang hanya milik-Nya.

“Tahukah Dedy, bahwa walaupun cuma sebagai bayangan, tapi saya tetap mampu untuk melakukan apapun yang saya inginkan... Tetap mampu untuk membuat sebuah rencana super besar dengan modal yang nyaris tak perlu saya rogoh dari kantung saya sendiri... Tetap mampu untuk membuat seratus audiens yang hadir di sini seketika memiliki bisnis yang cukup masif, hanya dengan masing-masing menyerahkan rupiah senilai satu juta saja, yang dengan perhitungan tertentu seperti yang telah agak bosan saya beberkan dalam banyak tulisan di buku yang Dedy pegang itu, maka silahkan nikmati bersama RoI plus surplus dividen... sejak awal bulan kedua...!!! Terlalu besarkah rupiah satu juta pada masa yang sekarang ini, Ded...?” dengan sedikit licik saya keraskan suara saya untuk uraian yang terakhir ini. sebab saya tahu, untuk seorang Dedy juga Uya kuya, tak ada yang lebih berharga bagi mereka, selain pembuktian atas semua yang telah penuh buih saya uraikan sejak mula.

Dan... benar saja! Dengan penuh senyum Dedy kembali berkata. Atau lebih tepatnya mungkin bertanya. Lengkap dengan segenap hasrat mengetes yang dia punya.

“Bayangan... bisakah Anda membuktikan, bahwa Anda mampu untuk melakukan sulap yang lebih baik dari saya...?!”

Saya jawab, “Yap. Bahkan saya mampu membuat semua audiens yang hadir di ruangan ini mengikuti keinginan saya, tanpa satupun trik sulap atau segala macam peralatan lenong milik Uya untuk menghipnotis mereka... hanya dengan satu kalimat saja...!”

Dengan penuh percaya diri saya bangkit dari kursi, dan mulai menatapi satu demi satu audiens yang entah mengapa terlihat agak tegang itu, sebelum akhirnya saya ucapkan sebuah kalimat kunci, dengan gaya yang amat mantap...^_

“Yang berminat untuk menjadi pemegang saham usaha bersama tadi, silahkan maju sekarang juga untuk menyerahkan rupiah sejumlah yang telah saya jelaskan barusan...” ucap saya pelan, datar, berbanding terbalik dengan hiruk-pikuk langkah begitu banyak kaki menuju podium tempat saya berdiri. Sementara Uya terlihat nyengir bego sendiri di atas sofa, dengan Dedy yang tak urung menggeleng-gelengkan kepala botaknya buah kejahilan saya ‘bersulap’. Sebuah sulap, yang walaupun terkesan sedikit konyol, namun tetap saya klaim sebagai sulap terhebat abad ini, dengan kehidupan sebagai panggung asli saya...^_

Tapi entah kenapa semua yang baru saya ceritakan tadi batal tayang di program Hitam-Putih milik stasiun TV swasta tersebut. Mungkin juga karena saya cuma sebuah Bayangan tanpa sedikitpun wujud nyata yang dapat terekam kamera. Atau, bisa saja, semua ini hanya terjadi di studio khayal saya sendiri, dengan benak sebagai satu-satunya media paling setia yang paling mampu membuat segalanya tampak begitu nyata, seperti percakapan aneh saya dengan Mind Changer yang sebelumnya saya ceritakan, yang jelas-jelas memang hanya terjadi di ruang maya dunia virtual bernama: Internet.

Ah, tapi... jikapun misalnya semua memang hanya ada di balik bilik benak, atau cuma menjelma dari sosok maya melalui sebuah percakapan ajaib dunia yang sama mayanya, tapi siapa yang berani untuk benar-benar mengakui, bahwa semua yang tadi: Tidak pernah benar-benar terjadi...?!!!

Saya adalah Bayangan, dan inilah kisah saya. Selamat menikmati singkong goreng yang semoga dapat menjadikan jiwa semakin kereng juga terang, sebagai sebuah menu sarapan yang paling nyata dalam ke-absurd-annya... ^_

-

aku ada, tapi siapakah aku dalam hidupku ini

bisikku sedih tanpa pernah mengerti

tentang apa sebenarnya semua ini

sebab aku tanpa aku tak lagi aku

melainkan kumpulan busuk dari meracau, mengacau

yang lalu dengan kesombongan yang masih seperti dulu

bersembunyi, dalam lubang bayang-bayang yang semakin terbang dan meng-abu
(‘Elegi buat Ci’ dalam Di Bawah Kibaran Dosa)

-

Secangkir Kopi dari Negeri Bayangan-012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline