(buat DS)
-
malam ini kulihat seribu kunang-kunang menari di pematang
membujuk benak untuk berpaling ke masa lekang
rendezvouz terakhir
yang tak pernah hendak meng-afkir
tatkala kau, perlihatkan cara terindah
seni merangkai cahaya
lewat desah-desah lirih bocah berwajah lusuh
yang berlomba mengeja alif-ba-ta dunia
juga seketip pemahaman tentang Tuhan
pada sebuah mushola
di lokasi penyimpan barang tua
dan segala rupa benda rongsokan
-
"ada rumput yang menari dan bergandeng dendang mengundang riang"
ucapmu, sambil mengulum senyum mementang tenang
menelusuri satu demi satu sketsa pelangi
dari jejak matahari yang sempat terpatri
-
di sini musim tak sering berganti, ucapmu lirih
dan baru kali itu dengan nada sedih
membeber ulang kitab ramalan masa depan
yang tak mesti dibaca terbata, sebab kefakiran
berkhalwat erat dengan kebodohan
dan bersatu menelikung kesempatan
hingga menjelma serupa angan
-
nasib menghasut waktu dan memerangkap mereka dalam jebak jejak
ayahnya, atau kakaknya, temannya
dan entah siapa saja yang menjadi 'teladan' di sana
ucapmu lagi menunjuk Si Iman yang anak seorang centeng diskotik
atau Si Amir adik pengedar obat-obat pembuat terbang
juga Si Rahman yang sepupunya mati saat membobol sebuah gudang
-
kita terlalu serakah, mengkavling surga dan keindahan
cuma untuk diri sendiri
sambil perlahan sembunyikan Tuhan
dalam sibuk hari-hari tanpa sempat berbagi
bisikmu lagi
seraya kembali melantunkan kitab suci
bersama mereka, dan memasungku dalam diam panjang yang termangu
menafsir lagi tentang hidup yang lalu
yang ternyata tak melulu cuma warna yang satu
-
masih pagi, ucapku
diam-diam menepis ragu
dan mulai mencatat segala diktat juga buku-buku
tentang dunia intelektualitas semu
yang kian santer dengan aroma tahayul itu
mengutak-atik berjurus rumus berlaksa angka
yang seringkali di kehidupan nyata
tak pernah bisa banyak berguna
serta menghapal teori-teori tingkat tinggi
yang bukan milik sendiri
yang jelas-jelas kian enggan berpihak pada hidup itu sendiri
-
masih pagi, ucapku lagi dengan suara sedikit bergetar
dan berharap agar waktu tak menyulapku menjadi sekedar operator
atau analisator
mungkin lebih baik kreator
asal bukan cuma kreatur
serupa baut dalam mesin besar dunia yang kian lamur
-
masih pagi, ucapku kali ini
dengan suara setengah berteriak
pada diri sendiri
hingga terasa agak perih dan sedikit serak
berharap dengannya dapat terhapus segala ingatan
tentang rumput yang masih terus saling berkelindan
dan bergandeng dendang mengundang riang
yang justru semakin kencang berkelebat-kelebat dan membayang
-
"aku harus ke laut, belum saatnya menjelma hujan,"
kukuhku, meminjam siklus hujan
dan menyusun ulang peta diri sendiri
menuju muara yang dikehendaki
-
namun entah mengapa
dari hujan ke hujan, aku semakin tak paham tentang hujan
tentang tetes-tetes kecil, yang entah pernah sebelumnya
mengayun di daun
menggertap di atap
atau meluncur perlahan setelah sebelumnya hinggap dan menyelinap
di kaca jendela dan barangkali juga di sudut facebookmu
yang setelah menggelepar-gelepar sejenak dipermainkan angin
lantas jatuh dan terjerembab menyelusupi segenap pori tanah dan batu
terus mengalir mencari jalan
menerjuni sungai menerobos laut
sebelum terik surya kembali menjemputnya sebagai uap yang kesat
dan kembali menjadi hujan lebat
-
tapi adakah hujan yang semuram ini?
hujan yang tak ingat pada hujan yang lain
hujan yang enggan untuk paham tentang hujan
hujan yang tak hendak peduli, apakah hujan yang kini
dapat menjadi jembatan
bagi hujan yang kemudian
-
dari hujan ke hujan
masih saja aku tak bisa mengerti tentang hujan
tentang tetes-tetes sedih dan keputus asaan
yang terus tercurah dari sudut-sudut paling marginal
dan menganak sungai tepat di depan kanal
mata batin, terus mengalir bersama tuli telinga hati yang bebal
dan terjebak, membentuk kubangan-kubangan kental yang pekat dan menggumpal
yang mungkin tak akan pernah bisa menjelma hujan lagi selamanya
yang mungkin hanya akan terus menjadi lumpur hitam yang kekal adanya
-
untuk hidup, kadang
kita harus mati
tegasku, sambil sangat bergegas dan terpontang-panting
kembali ke diri sendiri
mencoba menutup mata terhadap yang terjadi
alpa bahwa hati
seringkali memiliki kehendaknya sendiri
lupa bahwa nurani
tak pernah bisa disumpal dan dibohongi
-
: selalu rumput-rumput itu yang terus kutemui
selalu senyum itu yang terus menghantui
-
ah, rumput itu! senyum itu!
alangkah akrabnya dengan duniaku yang dulu...!
jauh waktu sebelum hidup menukarnya dengan warna abu
-
dan tiba-tiba saja aku menjadi sangat paham tentang hujan
tentang rumput
yang tertaut dari senyum-senyum teramat lembut
pada wajah kecil polos tanpa setitikpun beban tercermin
yang kian rancak menari dan bergandeng dendang mengundang riang
ketika hari ke hari
hanya kami isi dan lalui
dalam terang tanpa satupun noktah bayang-bayang
: melafadz tekad menerjemahkan keinginan
menyelami mimpi, mentakwilkan asa masa kemudian
dan menyibak segala yang menghalangi pandangan
hingga Tuhan tak lagi mesti tak kelihatan
hingga kesempatan tak lagi cuma ingin yang angan
hingga harapan tak lagi cuma khayalan
hingga hidup yang ada
waktu yang tersisa
hanya dipenuhi oleh kesibukan merenda bahagia
sibuk, merangkai cahaya
hingga entah nanti
dalam kisah yang selanjutnya
kami dapat menjadi hujan lagi
atau barangkali sekedar gerimis, yang menyejukkan: jiwa
-
"kita ke laut, dan bersama meniti masa menjelma hujan,"
ucapku sambil mengakhiri puisi ini pelan-pelan
dan kembali memaknai kehidupan
dari hujan yang satu ke hujan yang lain
- Secangkir Kopi Kata, Thorn Village-015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H