Keputusan MKMK memecat Ketua MK Anwar Usman, sebagai pintu masuk pembatalan Pencawapresan Gibran // Ahmad Syaihu
Keputusan Mahkamah Kode Moral Kehormatan (MKMK) untuk memberhentikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman telah mengguncang dunia politik Indonesia.
Ini terjadi setelah Anwar Usman memutuskan bahwa Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, dapat mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden (Cawapres) dalam pemilihan presiden mendatang, meskipun melanggar UUD 1945 tentang batasan usia minimum untuk calon wapres.
Keputusan ini telah menciptakan debat yang memanas di kalangan masyarakat, menghadirkan pertanyaan tentang integritas dan etika dalam lembaga peradilan tertinggi di Indonesia.
Ketua MK Anwar Usman Melanggar Kode Etik MK
Dalam konteks ini, MKMK menilai bahwa Anwar Usman telah melanggar kode etik berat yang mengatur perilaku anggota MK, terutama dalam menjaga independensi dan etika dalam menjalankan tugas dan fungsi lembaga. Keputusan MKMK ini muncul sebagai tindak lanjut atas temuan awal oleh Panitia Kode Etik MK yang menyelidiki pelanggaran etika Anwar Usman dalam perkara yang melibatkan Gibran.
Debat terbesar yang timbul dari keputusan MKMK ini adalah apakah MKMK memiliki kewenangan untuk menghentikan Ketua MK. Sebagai sebuah lembaga yang baru dibentuk, MKMK adalah wadah independen yang bertujuan untuk mengawasi dan menegakkan kode etik dan perilaku yang diharapkan dari anggota MK.
Namun, beberapa pihak berpendapat bahwa hanya MK sebagai lembaga peradilan yang seharusnya memiliki kewenangan untuk memberhentikan salah satu anggotanya.
MKMK Harus Mengembalikan Marwah MK