Lihat ke Halaman Asli

Lafon

Tukang

Plastik Sentris

Diperbarui: 27 April 2019   15:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto: www.dw.com

Selain negara dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di dunia, Indonesia juga menempatkan dirinya sebagai penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah China. Melansir dari situs sampahmuda.com dikatakan bahwa 87 persen dari 3,8 juta ton sampah plastik yang dibuang oleh warga setiap tahunnya mengambang di laut. Artinya, setiap penduduk pesisir Indonesia bertanggungjawab atas 17,2 kilogram sampah plastik yang mengapung dan meracuni satwa laut.

Beberapa kali beredar foto maupun video yang menggambarkan betapa mirisnya nasib satwa laut yang merasakan dampak langsung dari sampah plastik, seperti keong yang bercangkang tutup botol minuman, ikan paus yang mati dengan kondisi perut yang dipenuhi sampah plastik, kura-kura yang hidungnya tersumbat oleh sedotan plastik, dan masih banyak ribuan dokumentasi lain terkait hal itu. Namun, kehebohan semua itu sebatas viral sesaat tanpa diikuti keinginan untuk mengurangi penggunaan plastik.

Permasalahan plastik ini pada dasarnya terdapat pada paradigma masyarakat. Masyarakat kita saat ini memandang plastik sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari aktifitas sehari-hari. Banyak dari mereka yang tidak mengetahui betapa bahanya eplastik bagi lingkungan. Yang mereka tahu tentang plastik hanya barang yang praktis dan murah, bahkan lebih cenderung pada tidak berharga. Dengan paradigma demikian, tentu membuang plastik bukan sebuah dosa besar dan merugikan mereka.

Untuk mengubah paradigma itu, bukan perkara mudah dan membutuhkan proses lama. Terlebih dahulu pemerintah harus terus mengkampanyekan bahaya plastik melalui iklan-iklan di televisi sembari menemukan alternatif lain pengganti plastik. Selain itu, mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) juga bisa menjadi media edukasi ampuh untuk mendoktrin anak bahwa plastik itu berbahaya dan mengancam masa depan lingkungan kita.

Penemuan-penemuan terkait pengganti plastik yang lebih rama lingkungan juga beberapa kali telah dilakukan oleh anak bangsa. David Christian, misalnya, dia berhasil membuat kemasan plastik berbahan rumput laut. Uniknya, kemasan tersebut bisa larut saat diseduh, bisa ditelan, dan bisa menjadi pupuk bagi lingkungan sekitar. Menurutnya, plastik berbahan rumput laut itu mampu memangkas waktu penguraian menjadi dua tahun.

Selain David Christian, Sugianto Tandio dan Tommy Tjiptadjaja juga berhasil mengembangkan kantong plastik ekologis yang terbuat dari singkong dengan sebutan Ecoplas. Namun, biaya produksi yang dibutuhkan dua kali lipat dari kantong plastik tradisional. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab masyarakat masih enggan membili kantong plastik ramah lingkungan ini.

Dengan beberapa penemuan hebat itu, sebenarnya pemerintah bisa hadir di dalamnya. Misalnya, memberikan subsidi bagi plastik ramah lingkungan dan menerapkan pajak yang tinggi bagi industry plastik tradisional. Dengan demikian, harga plastik ramah lingkungan akan jauh lebih murah. Tidak hanya itu, pemerintah juga sebaiknya memberikan regulasi yang ketat kepada pabrik-pabrik makanan untuk mengganti kemasan mereka dengan kemasan yang ramah lingkungan.

Selama ini, belum ada upaya serius dari pemerintah untuk mengurangi penggunaan plastik. Pemerintah saat ini masih berada pada taraf penanganan, belum menyentuh taraf pencegahan. Hanya pemprov Bali yang sudah mengambil tindakan tegas dengan mengeluarkan larangan penggunaan plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan, itu pun masih belum menyasar warung dan toko-toko kecil. Namun setidaknya Bali telah menerapkan langkah konkret dalam upayanya untuk mengurangi sampah plastik.

Secara pribadi saya memang belum bisa melepas ketergantungan terhadap plastik, tapi ketergantungan itu saya ubah dengan cara menerapkan aturan pribadi 'membuang satu kantong plastik dalam dua minggu', berarti dua kantong plastik dalam satu bulan. Oleh karenanya, saya selalu menyediakan tas lipat atau kantong plastik di saku dan tas kemana pun saya pergi. Ketika lupa, resikonya adalah kembali untuk mengambil kantong atau membawa barang belanjaan dengan tangan. Sudah satu tahun lebih saya menerapkan aturan itu untuk diri saya pribadi.  

Seperti bom waktu, plastik akan menjadi ancaman mematikan bagi keberlangsungan makhluk hidup saat ini dan di masa mendatang. Pemerintah dan bu Susi saja tidak cukup untuk mengatasi hal itu. Butuh partisipasi dan kesadaran tiap individu. Jika enggan mengeluarkan ongkos yang lebih mahal untuk membeli barang (kantong, sedotan, botol minuman) yang ramah lingkungan, setidaknya jangan memperburuk keadaan dengan menggunakan plastik hanya untuk sekali pakai.   

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline