Algoritma cinta anak STM.
Cuaca halte Baranang Siang-Bogor, itu tampak panas seperti biasa, tetapi sengatan sinar mentari tak lagi berasa, tiupan angin pelan yang didorong liukan dedaunan dan rimbun pohon yang berjejer rapi sepanjang jalan pajajaran menggoda Aryo dan tiga orang temannya untuk sejenak menikmati pelukan alam.
Halte selalu jadi favorit Aryo untuk menikmati siang selepas penat berkutat dengan pelajaran seharian. Bersandar pada tiang halte warna kuning di depan toko buku gramedia, ditiup belaian angin pelan sambil sesekali matanya melirik perlahan satu per satu orang yang hilir mudik menunggu angkot atau bus, atau masuk dan keluar dari toko buku.
"Bus kita mau datang, tuh, cabut, yuk!" ajak Erwin pada Aryo.
"Tar dulu, gue masih betah di sini," balas Aryo pelan.
Matanya tertuju pada tiga orang gadis dengan seragam SMU dari seberang jalan menuju halte tempat Aryo berdiri.
"Geser, geser, ada putri langit mau singgah, kasih tempat, jangan rese!" perintah Aryo pada tiga orang temannya sambil gestur matanya tajam dan serius.
Aryo kerap berceloteh pada teman-temannya, bahwa jadi anak STM itu pilihan Tuhan, tak hanya dilatih oleh alam untuk berani dalam kehidupan, hadapi perkelahian jalanan yang tak terelakan, tetapi juga harus jadi seorang pria sejati, yang selalu menghormati perempuan, perlakukan mereka layaknya seorang putri langitan.
Aryo sendiri sebenarnya merasa tersesat dan salah memilih sekolah, niat hati ingin menghindari pelajaran IPA (Ilmu pengetahun Alam), lalu dengan asal memilih Sekolah Teknik Menengah (STM) dengan harapan tak bertemu lagi dengan pelajaran yang tak disukainya.
Alih-alih terhindar dari pelajaran IPA, sekolahnya sekarang malah dijejali aneka ilmu fisika, gambar teknik, hingga algoritma terapan. Satu yang paling membuatnya kaget, sekolahnya sekarang dihuni 95% makhluk sejenisnya bernama pria, hanya ada 8 orang gadis dalam sekolahnya, bahkan guru perempuan pun hanya ada 5, lengkap sudah ketersesatan Aryo.
Kering, gersang, kerontang dalam lara, setengah hati setiap melangkah pergi sekolah, tak ada lagi semangat, tipis asa, walau jiwa mudanya tetap menggelora.