"Kamu itu dibilangi masih aja jawab. Kamu itu belum cukup umur tahu gak?" bentak ibunya, "Untung yang kebakar cuman pelataran sama pohon aja. Kalo sampek rumah orangnya gimana? Ganti rugi pakai apa kita?"
Bentakan ibunya itu selalu membuat emosi Wiwik meluap. Ia merasa bahwa dirinya telah melakukan sesuatu yang benar. Membantu orang yang lebih lemah dengan kekuatannya.
"Kan cuman rumput sama pohon aja lho yang kebakar," gumam Wiwik sambil menyandarkan tubuhnya ke bangku taman, "Lagian kemarin juga para vigilantis tidak langsung datang gitu pas orang-orang minta tolong."
Emosinya malah meninggi. Kepalanya tambah panas. Hatinya makin tidak terima.
"Yang penting kan tas ibu kemarin sudah aman dan enggak ada korban toh?" imbuhnya sambil meneguk minuman kaleng rasa lemon.
Dipijat pelan kepalanya di bawah naungan pohon yang berada di belakang bangkunya. Meskipun ditemani sejuknya minuman dingin dan rimbunnya pohon dari teriknya siang hari, kepalanya masih saja pusing dengan masalah kemarin itu.
Damainya taman kota pada siang hari itu seketika terusik oleh suara ledakan yang keras. Wiwik dan beberapa pengunjung taman yang lain terkejut.
Tak lama kemudian suara tembakan mulai menyeruak. Orang-orang sekitar mulai berteriak dan panik ketakutan.
Wiwik penasaran dengan apa yang terjadi. Setelah mengumpulkan keberanian ia memutuskan untuk mendekati sumber suara yang berasal dari luar taman.
Bagaikan ikan yang melawan derasnya arus sungai. Gadis 14 tahun ini bergerak melewati gelombang manusia yang ingin menyelamatkan diri.