Hari ini Kompas.com memberitakan tentang Pulau Lantigiang Selayar Sulsel Diduga Dijual Rp 900 Juta dimana saya tidak terlalu kaget namun sedikit kesal dengan adanya kejadian seperti ini bukan pertama kalinya terjadi.
Namun sebelumnya saya ingin mengatakan bahwa mungkin apa yang di jual tersebut adalah sebidang tanah yang berada di pulau tersebut bukan secara keseluruhan pantai karena pada dasarnya pantai yang berupa pasir itu tidak dapat di miliki atau di perjualbelikan.
Sedikit tentang Taka bonerate, ketika masih bekerja di sebuah kapal Pinisi dan mengunjungi kawasan Takabonerate beberapa tahun yang lalu, saya baru pertama kali lebih banyak menikmati keindahan alam daripada berbicara dengan masyarakat lokal, karena memang keindahan alamnya sangat luar biasa terutama atol-atol dan gundukan pasir putih atau sandbak yang tersebar di kawasan atol tersebut.
Air laut yang berwarna turquoise bukan hanya menyilaukan mata namun juga membuat kita ingin menyebur ke air, walau saya sendiri tidak bisa berenang namun karena melihat jernihnya air maka rasa takut tidak bisa mengapung terlupakan.
Takabonerate sendiri merupakan atol terbesar di Indonesia dan ketiga di dunia yang sebenarnya jika dikembangkan menjadi kawasan seperti Maldives yang juga merupakan kawasan atol, tidaklah mustahil bila dapat menyaingi Maldives.
Pihak UNESCO sendiri telah menjadi Taka bonerate menjadi World Heritage Centre.
Pada tulisan ini saya hanya ingin menyoroti kejadian-kejadian seperti ini dimana pada dasarnya yang menjadi penyebabnya adalah kurangnya kesadaran masyarakat lokal terhadap pekarangannya sendiri terutama pada pemberdayaan keindahan alam sekitar untuk di kembangkan menjadi destinasi wisata.
Pada setiap kesempatan saya mengunjungi pulau-pulau kecil di kawasan Kepulauan Sunda Kecil, saya lebih banyak berbicara kepada masyarakat lokal dibanding menikmati keindahan alam sekitar karena saya ingin mengetahui banyak mengenai setiap pulau yang saya kunjungi.
Saya selalu ingin mengetahui berapa harga tanah di pulau tersebut dan siapa saja yang menjadi pemiiknya, bukan untuk menyuapi rasa keingintahuan saya namun hanya untuk sebagai data di database di kepala saya.
Pada setiap kesempatan itu pula saya selalu berpesan kepada masyarakat lokal bila memiliki sebidang tanah untuk tidak dijual seluruhnya, paling tidak mensisakan paling tidak 10-20% dari luas tanah, sehingga apabila pembeli membangun resort atau hotel, mereka bisa membuka warung, toko atau restoran didekat lokasi.
Hal ini agar mereka sebagai lokal tidak menjadi penonton saja akan tetapi ikut serta dalam mengembangkan wisata dan mendapatkan nilai ekonomi dari pengembangan yang terjadi.