Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Aunullah

Pelaku Wisata

Teritorial dalam Pariwisata

Diperbarui: 24 September 2018   20:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bangsal - Lombok (DokPri)

Jika melihat kamus, arti dari kata teritorial adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kewilayahan dan biasanya istilah ini digunakan dalam dunia militer, namun apa hubungannya dengan pariwisata ?

Apabila kita turun dari kapal atau terminal/pelabuhan di kota manapun di Indonesia, saat akan menuju ke tempat tujuan akhir biasanya kita hanya boleh menggunakan jasa angkutan seperti taksi yang hanya berasal dari kawasan tersebut, jika kita memesan dari luar, biasanya justru taksi dari luar ini dikenakan biaya tambahan yang pada akhirnya dibebankan kepada kita sebagai penumpang. 

Mungkin sah-sah saja beberapa orang lokal di tempat tersebut melakukan seperti itu untuk menambah penghasilannya melalui jasa transportasi yang mereka tawarkan, namun jika berkesan memaksa dan mengingat negara kita adalah negara kesatuan, maka praktek seperti ini terutama dalam dunia pariwisata sangat merugikan wisatawan baik wisatawan nusantara maupun mancanegara terlebih bila ada praktek  biaya tambahan yang dibebankan kepada wisatawan akibat memesan jasa transportasi dari luar kawasan yang seharusnya tidak dikeluarkan alias pungli.

Bandara

Masalah teritorial ini juga terjadi di beberapa bandara di Indonesia dengan adanya taksi bandara, memang tidak semua bandara melarang taksi meteran beroperasi untuk menjemput penumpangnya, tidak hanya sekedar mengantar.

Bandara Internasional Soekarno-Hata di Cengkareng contohnya memperbolehkan taksi meteran beroperasi di kawasan bandara, namun hal ini tidak terjadi di bandara besar lainnya seperti Bali dan Lombok dimana hanya taksi bandara yang boleh mengantar penumpang, padahal kedua bandara ini statusnya sebagai bandara Internasional yang seharusnya lebih membebaskan penumpang yang berasal dari penjuru dunia untuk memilih jenis transportasi umum sesuai dengan preferensi mereka masing-masing.

Lain halnya dengan bandara Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembang walaupun statusnya bandara internasional namun mereka menyediakan zona khusus untuk memilih taksi meteran yaitu di sebelah kiri bila kita keluar dari terminal kedatangan, walaupun agak jauh namun ini termasuk bandara yang tidak bersifat teritorial.

Solusi nya bagaimana ? sebaiknya di negara kesatuan seperti Indonesia ini hal seperti ini tidak boleh terjadi, akan tetapi hal teritorial ini hanya satu dari beberapa permasalahan di dunia pariwisata kita.

Saya tidak dalam kapasitas dan masih jauh berpengalaman dari para senior pariwisata , mereka yang mungkin memiliki kapasitas lebih dari saya.

Namun saya memiliki pesan kepada para pemegang kebijakan terutama dalam dunia pariwisata yaitu coba lah sekali-sekali bila ingin melakukan kunjungan atau memberikan workshop atau semacamnya ke daerah supaya datang sebagai wisatawan, bukan figur yang dijemput dengan protokoler sehingga mengetahui benar apa yang di alami oleh para wisatawan yang notabene merupakan tamu dari negara kita juga. Dan juga coba sekali-sekali menggunakan maskapai non flag-carrier sehingga merasakan pengalaman delayed berjam- jam. 

Coba untuk menggunakan kapal feri untuk menyeberang dari pulau yang besar ke pulau besar lain nya. Selama masih dijemput protokoler, selama itu pula laporan semuanya akan bagus., sehingga masalah klasik seperti teritorial ini tidak tuntas karena mengganggap keluhan dari wisatawan seperti di fabrikasi. Dengan menjadi wisatawan, para pemegang kebijakan ini bisa langsung mendengar dan berbagi pengalaman dengan wisatawan di sebelahnya.

Salam pariwisata




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline